Opini  

Menyoal Pemungutan Suara Ulang dalam Bingkai Demokrasi

Anggota KPU Kabupaten Kepl. Sangihe Jeck Stephen Seba. (Foto: ist)

Editor: Martsindy Rasuh
Penulis: Jeck Stephen Seba
(Anggota KPU Kab. Kepl. Sangihe)

MANADO (Gawai.co) – Pemungutan Suara Ulang (PSU) telah sering menjadi fakta dalam penyelenggaraan pemilu dan pemilihan di negara kita Indonesia. Dari perspektif efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan, tentu saja terjadinya PSU sangat disayangkan karena PSU menuntut dilakukannya sebuah proses pengulangan terhadap pemungutan suara yang telah dilaksanakan sebelumnya.

Pengulangan tersebut berkonsekuensi pada waktu dan anggaran. Namun dari sisi proses dan hasil akhir, menarik untuk membahas hal perihal PSU, karena hasil PSU dalam kenyataannya dapat merubah hasil sebelumnya, tidak terbatas pada jumlah suara yang menjadi penyebab PSU.

Pemungutan Suara Ulang

PSU adalah Pemungutan Suara Ulang, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum pada Pasal 372. Dalam ketentuan ayat (1), diatur bahwa pemungutan suara di TPS dapat diulang apabila terjadi bencana alam dan/atau kerusuhan yang mengakibatkan hasil pemungutan suara tidak dapat digunakan atau penghitungan suara tidak dapat dilakukan.

Sedangkan dalam ketentuan ayat (2) diatur bahwa pemungutan suara di TPS wajib diulang apabila dari hasil penelitian dan pemeriksaan Pengawas TPS terbukti terdapat keadaan sebagai berikut: a). pembukaan kotak suara dan/atau berkas pemungutan dan penghitungan suara tidak dilakukan menurut cara yang ditetapkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan; b) petugas KPPS meminta pemilih memberikan tanda khusus, menandatangani, atau menuliskan nama atau alamat pada surat suara yang sudah digunakan; c) petugas KPPS merusak lebih dari satu surat suara yang sudah digunakan oleh Pemilih sehingga surat suara tersebut terdaftar di daftar pemilih tetap dan daftar pemilih tambahan menjadi tidak sah; dan/atau d). pemilih yang tidak memiliki kartu tanda penduduk elektronik dan tidak terdaftar di daftar pemilih tetap dan daftar pemilih tambahan

Demokrasi

Demokrasi menurut para ahli, antara lain Sidney Hook berpendapat bahwa demokrasi merupakan bentuk pemerintahan dimana keputusan-keputusan pemerintah yang penting secara langsung dan tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa. Sedangkan Abraham Lincoln berpendapat bahwa demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat (democracy is government of the people by the people and for the people).

Di Indonesia perwujudan demokrasi yang populer diistilahkan sebagai ajang ”pesta demokrasi” yaitu penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) yang diselenggarakan 5 tahun sekali berdasarkan konstitusi pasal 22E UUD NRI 1945, yaitu untuk memilih: Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dari penyelenggaraan pemilu akan melahirkan pemimpin-pemimpin yang dapat mensejahterakan rakyat Indonesia secara keseluruhan.

Dasar hukum penyelenggaraan pemilihan umum telah diletakan pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang diantaranya mengatur perwujudan hajatan demokrasi elektoral tersebut dilaksanakan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Diatur juga dalam penyelenggaraannya harus memenuhi prinsip: mandiri, jujur, adil, berkepastian hukum, tertib, terbuka, proporsional, professional, akuntabel, efektif, dan efisien.

Problematika PSU

PSU wajib dilaksanakan karena terjadi pelanggaran terhadap norma yang telah diatur dalam undang-undang yang menjadi dasar hukumnya, yakni adanya pelanggaran terhadap asas maupun prinsip penyelenggaraan pemilu. Namun yang menjadi pertanyaan adalah; apakah penyelenggaraan PSU akan menjadi jembatan atau wahana untuk mencapai asas dan prinsip yang diharapkan dalam peraturan perundangan-undangan?

Pada penyelenggaraan Pemilu Tahun 2019 di Kabupaten Kepulauan Sangihe, KPU menindaklanjuti Rekomendasi Bawaslu untuk melaksanakan PSU di 2 TPS pada Daerah Pemilihan (Dapil) yang berbeda. Satu TPS hanya melaksanakan PSU untuk Pemilu Anggota DPR, Anggota DPD, serta Presiden dan Wakil Presiden. Sedangkan satu TPS lainnya menyelenggarakan PSU semua jenis pemilu termasuk memilih anggota DPRD yaitu DPRD Provinsi Sulawesi Utara dan DPRD Kabupaten Kepulauan Sangihe.

Psikologis dan nuansa PSU di dua TPS tersebut di atas tentunya sangat berbeda. PSU untuk memilih Anggota DPR, Anggota DPD serta Presiden dan Wakil Presiden, akumulasi hasil perolehan suara pada PSU akan berubah namun komposisi peringkat perolehan suara calon agak sulit terpengaruh karena cakupan wilayah dapilnya sangat luas dan tentu pemilihnya lebih besar, sehingga cenderung tidak mempengaruhi.

Berbeda dengan PSU untuk memilih Anggota DPRD Kabupaten/Kota, karena cakupan dapilnya sedikit, yakni hanya beberapa kecamatan dan pemilihnya cenderung lebih sedikit, dengan demikian tentunya perbedaan jumlah perolehan suara cenderung sangat dekat bahkan perbedaanya pada digit puluhan bahkan satuan antar kandidat. Kemudian para calonnya juga sangat dekat dengan pemilihnya dan relasi sosial sangat berpengaruh terhadap sensitivitas sosial. Dengan demikian rentan dengan konflik sosial.

Untuk itu dalam artikel ini penulis mengkhususkan batasan tulisan pada penyelenggaraan PSU di TPS yang menyelenggarakan 5 jenis pemilihan dan memfokuskan bahasan pada PSU untuk Pemilu Anggota DPRD Kabupaten Kepulauan Sangihe.

Alasan diselenggarakannya PSU di TPS karena terdapat 2 (dua) pemilih yang status kependudukan adalah penduduk pendatang yang tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) juga tidak terdaftar pada Daftar Pemilih Tambahan (DPTb), juga bukan pemegang Formulir A5 (pindah memilih).

Pada kasus ini, logika hukum Pasal 372 UU Pemilu, mengatur tentang kewajiban pelaksanaan PSU, tujuannya adalah membatalkan 2 suara yang dinyatakan tidak memenuhi syarat agar tidak diperhitungkan kepada siapa suara itu diberikan melalui proses PSU, sehingga penyelenggaraan PSU akan didapatkan hasil suara yang murni dan sah berdasarkan asas dan prinsip penyelenggaraan pemilu.

PSU Merubah Mahkota Menjadi Malapetaka dan Kelesuan Menjadi Permata

Harapan penyelenggaraan PSU, akan mengembalikan kemurnian hasil perolehan suara dengan tidak menyertakan 2 pemilih yang tidak punya hak memilih menurut peraturan perundang-undangan, dan mengeliminasi suara yang diberikan kepada caleg pada pemungutan dan penghitungan suara sebelumnya. Hal ini tentu saja dengan harapan dapat menghadirkan semua pemilih yang telah menggunakan hak pilihnya pada pemungutan suara sebelumnya di TPS.

Namun ironis, yang terjadi adalah hasil perolehan suara PSU untuk memilih Anggota DPRD Kabupaten Kepulauan Sangihe pada dapil tersebut berbanding terbalik dengan hasil perolehan suara sebelumnya.

Hasil perolehan suara pada TPS turut mempengaruhi akumulasi perolehan suara pada dapil tersebut, sehingga terjadi reposisi pemeringkatan perolehan suara calon, bahkan terjadi reposisi calon yang terpilih menjadi Anggota DPRD Kabupaten Kepulauan Sangihe pada Dapil tersebut.

Dengan demikian, calon yang sebelumnya perolehan hasil suaranya tertinggi dan berhak mendapatkan kursi, tereliminasi karena terjadi peningkatan signifikan hasil perolehan suara calon yang lain pada penyelenggaraan PSU. Maka sirnalah harapan mendapatkan “mahkota” kehormatan sebagai Anggota DPRD Kabupaten Kepulauan Sangihe akibat daripada dilaksanakannya PSU. Di pihak lain suasana kelesuan berubah menjadi kegembiraan untuk meraih “permata” dan hal itu terwujud pada proses PSU.

Berdasarkan realita tersebut, penulis mencoba melakukan riset sederhana dengan menemui beberapa responden, di mana penulis menemukan berbagai respon masyarakat terhadap PSU, antara lain ada yang beranggapan bahwa PSU membawa berkah, namun melukai citra demokrasi yang diharapkan.

Perintah dan amanat UU Pemilu Pasal 373 ayat (3) pemungutan suara ulang di TPS dilaksanakan paling lama 10 (sepuluh) hari setelah hari pemungutan suara berdasarkan keputusan KPU Kabupaten Kota. Dalam kurun waktu tersebut KPU secara intensif bersama jajaran sampai kepada tingkat KPPS, mempersiapkan rencana kerja, menyediakan logistik, dan mempersiapkan SDM dalam menyelenggarakan PSU.

Dalam kurun waktu yang sama pula beberapa calon Anggota DPRD mengatur strategi untuk perebutan suara yang nantinya akan terkonversi menjadi kursi yang empuk di DPRD Kabupaten Kepulauan Sangihe. Demikian halnya bagi para kandidat melihat bahwa PSU adalah kesempatan yang terbuka untuk melakukan daya dan upaya dalam memperebutkan kursi untuk duduk menjadi anggota DPRD, berbagai upaya dilakukan, untuk mendapatkan suara dari pemilih demi untuk meraih kursi empuk di DPRD Kabupaten. Di lain pihak kursi empuk di DPRD yang selangkah lagi menjadi milik calon tertentu, akhirnya terlepas dari genggaman, karena pelaksanaan PSU.

Penutup

PSU itu adalah sarana yang bertujuan untuk, salah satunya pembetulan/perbaikan atas kesalahan/kekeliruan baik yang dibuat sengaja ataupun tidak disengaja oleh pemilih maupun petugas penyelenggara. Dengan adanya PSU akan ada upaya memurnikan kembali suara rakyat yang berhak memilih menurut peraturan perundang-undangan. Belajar dari pengalaman-pengalaman pelaksanaan pemilu sebelumnya, sebagaimana telah penulis paparkan di atas maka beberapa saran dan masukan yang hendak penulis sampaikan adalah:

Pertama, perlu kiranya meninjau kembali regulasi dengan mempertimbangkan urgensi untuk dilaksanakannya PSU. Kedua, perlu dilakukan upaya pencegahan terjadinya PSU, diantaranya dengan mengoptimalkan Bimbingan Teknis kepada seluruh Petugas KPPS dan PPL/pengawas TPS. Bimtek terpadu/gabungan supaya terjadi kesamaan persepsi antara penyelenggara teknis dan aparat pengawas juga penting dipertimbangkan.

Dilaksanakannya PSU, bagaimanapun, menjadi bukti ada hal-hal substansi terkait asas dan prinsip pemilu yang dilanggar. Disamping itu PSU tetap berpotensi melahirkan efek-efek negatif. Karenanya, upaya pencegahan dengan menghadirkan penyelenggaraan pemungutan suara yang sesuai dengan regulasi menjadi penting untuk dilakukan. Dengan harapan, nilai dan prinsip berdemokrasi yang telah dilahirkan dan diletakkan oleh para pejuang demokrasi untuk generasi selanjutnya tetap terpelihara. Kekuasaan dari, oleh dan untuk rakyat, akan terus dilestarikan demi untuk kesejahteraan rakyat itu sendiri. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *