Opini  

Menakar Tafsir Cari Muka Dalam Konteks Kekinian

Oleh: Fendi Tulusa                          

TONDANO (Gawai.Co) – Tulisan ini hanyalah bentuk kegelisahan yang mendera saya dikala lamunan tidak lagi memiliki arti apapun, khayalan yang sudah terjebak dalam dunia Simulacrum menurut Jean Baudilard. Hidup di Dunia Simulasi dalam hegemoni budaya populer.

Tentunya kegelisahan lahir dari fenomena kehidupan dunia yang saat ini tidak menentu. Kita harus akui bahwa zaman sekarang mempertahankan hidup lebih sulit dari pada menentukan arah hidup.

Era Modern ditandai dengan lahirnya mesin-mesin berteknologi tinggi membuat pekerjaan manusia menjadi berkurang namun justru melahirkan manusia-manusia yang pemalas.

Pura-pura lupa dengan asal muasal kita, justru lebih dominan kita menghamba sesama manusia hanya untuk kepentingan pribadi yang bersifat sesaat.

Tuhan telah dipenjara di tempat-tempat ibadah sehingga tempat ibadah berubah menjadi tempat ziarah hal ini sebagai alasan munculnya buku yang ditulis oleh M. Amin dengan judul “Ziarah ke Makam Tuhan”, sebuah kritisisme terhadap manusia yang sibuk dengan urusan ke duniawian sampai lupa dengan Tuhan dan Kitab Sucinya. Mengutip ungkapan dari Nietzche bahwa “Tuhan telah mati”

Namun tulisan ini bukanlah menggurui tetapi hanyalah sebagai pengingat dan kritikan atas fakta zaman sekarang karena ungkapan ‘cari muka’ dapat ditafsirkan dalam berbagai macam sudut pandang.

Kalimat ‘cari muka’ memiliki berbagai macam persepsi negatif. Cari muka bisa dimaknai karena seseorang kehilangan muka sehingga orang tersebut berupaya agar mendapatkan perhatian penuh karena tanpa perhatian mereka tidak dapat bertahan hidup.

Harapan dari orang yang cari muka adalah pujian dan perhatian yang menurut mereka adalah pantas.

Dalam dunia pekerjaan, kalimat cari muka sangat sering disebutkan. Biasanya kalimat ini muncul karena ada persaingan dalam dunia kerja, misalkan antara karyawan/pegawai dalam suatu lembaga atau perusahaan.

Setiap pegawai/karyawan mempunyai impian dan motivasi yang berbeda-beda, ada yang bekerja hanya untuk menerima gaji, ada yang bekerja dengan semangat yang kuat dan ada yang hanya sebatas untuk mendapatkan jabatan tertentu.

Mendapatkan rekan kerja yang suka cari muka memang sangat menjengkelkan karena apa yang dia lakukan pasti sangat menjengkelkan.

Apa yang dia lakukan hanya untuk mendapatkan pujian tak perduli tindakannya itu justru menyakiti orang lain, yang pasti dia merasa unggul didepan atasannya. Intinya apapun yang dia lakukan hanya untuk pajangan.

Dalam Kamus Besar Bahasa indonesia Cari Muka memiliki arti mencari muka :

berbuat sesuatu dengan maksud supaya mendapat pujian atau sanjungan (dari atasan atau orang lain).

Cari muka memiliki Sinonim mencari muka, mengambil muka, mengangkatangkat, menggula, menjilat.

Lain halnya dengan kalimat ‘setor muka’ kalimat ini memiliki makna silaturahmi dapat dipersepsikan sebagai sikap rasa hormat, junior ke senior, merawat persahabatan dalam sebuah ikatan kekeluargaan misalkan dalam organisasi yang memiliki ikatan kekaderan secara ideologis.

Tetapi kalau berkunjung ke rumah Bos/atasan biasanya ini mulai dipertanyakan apalagi kalau setor muka membawa bingkisan. Hal seperti ini lebih mudah ditafsirkan secara negatif sehingga setor muka berubah menjadi ‘cari muka’ apalagi bukan cuma muka yang di setor malah membawa setoran lain.

Dari berbagai macam ciri orang “cari muka” yang perlu diwaspadai adalah ciri yang bermuka dua. Ciri ini yang harus membuat kita serba hati-hati karena orang yang bermuka dua dibeberapa momen dia sangat baik dengan kita, tetapi ketika dimuka atasan wataknya akan berubah dan menjadi acuh tak acuh terhadap kita dan terkadang dimuka atasan kita dijelek-jelekkan karena orang yang bermuka dua punya usaha untuk mendominasi dalam setiap urusan tertentu serta berusaha menjatuhkan orang lain, tentunya orang seperti ini tidak memiliki rasa malu didepan teman-temannya.

Penjelasan diatas merupakan penjelasan secara umum tentang tafsir cari muka, namun dalam konteks kekinian fenomena cari muka menjadi masif, apalagi menjelang perhelatan politik ditahun 2024, simbiosis mutualisme benar-benar terjadi di Masyarakat.

Kata cari muka akan berganti menjadi “penjilat” dan akan familiar ditengah-tengah masyarakat kita, karena masing-masing berjuang untuk bertahan hidup tergantung objek yang dijilat.

Karena yang kita hadapi adalah tahun politik maka muncullah “penjilat politik” dan akan terlihat jilatan politiknya.

Ingatlah bahwa sejarah selalu berulang hanya pelakunya yang berbeda, fenomena hari ini merupakan reka ulang masa lalu. Teringat tukang sihir Fir’aun ketika meminta upah jika menang melawan Musa. Upah tertinggi adalah “dekat” dengan Raja.

Jawaban Fir’aun “na’am wa innakum idzan laminal muqorrabiin” (benar, sesungguhnya kalian akan menjadi “orang dekat” ku) QS Asyu’araa 42. Artinya apabila dekat dengan Raja/Penguasa maka akan memperoleh fasilitas dan menjadi prioritas Raja/Penguasa.

Jika lama menjadi Raja/Penguasa maka kultus akan terbentuk. Firaun sudah sampai pada tahap Tuhan, Haman sebagai Panglima, Bal’am sebagai Agamawan, dan Qorun sebagai Pengusaha telah merasa nyaman berada didekat Fir’aun.

Mereka menjadi elit yang senantiasa menjilati dan membentengi Fir’aun. Fir’aun kuat mereka menjadi merajalela dalam kekuasaan, Ketika Fir’aun hancur semua ikut hancur. Begitulah risiko berada dalam suatu “maqom” rezim.

Padahal Saidina Ali sudah mengingatkan kita dengan ungkapannya “Aku sudah pernah merasakan semua kepahitan dalam hidup. Dan yang paling pahit ialah berharap pada manusia.”

Dan Rosul menyebut pencari muka sebagai “dzal wajhain” pemilik dua wajah. Dan itu adalah seburuk buruk manusia “inna min syarrin naas”

Penjilat dan yang dijilat sama-sama menggunting keadilan. Akan bersambung ke tulisan berikutnya dengan judul “Orang Dalam”.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *