Opini  

Menelisik Keuletan Perempuan Jaton dan Makna Tradisi Lebaran Ketupat

Pegiat Literasi Sulawesi Utara Rusmin Hasan. (Foto: dok pribadi)

Oleh: Rusmin Hasan
Pegiat Literasi Sulawesi Utara

Mengupas cermin keteladanan pada generasi Kyai Modjo yang belum terungkap

TONDANO (Gawai.co) – Perbincangan tentang perempuan di ruang publik sangatlah menarik dan tidak ada habisnya. Begitulah mahakarya keindahan Tuhan yang termanivestasi dalam dirinya. Ada rasa kasih sayang, kelembutan, emosional dan bahkan kemarahan yang menyelimuti dirinya. Namun ketika kita coba merenung sejenak dan memahaminya, maka kita akan jumpai makna keindahan alam semesta dan wujud ke-Tuhanan dalam dirinya. Begitu ungkapan dari seorang sufi termasyhur Jaluddin Rummi “Keindahan semesta dan mahakarya Tuhan telah termanivestasi dalam diri perempuan”.

Saya mengawali narasi kritis telaah filosofis tulisan saya ini dengan untai kata-kata bijak diatas, untuk menelisik keuletan perempuan Jawa Tondano (Jaton) atau saya menyembutnya sebagai cermin mata air keteladan. Kenapa kemudian saya memberi makna keteladan? Karena saya jumpai pada sosok perempuan di Kampung yang dikenal dengan sebutan Jaton, dalam tradisi lebaran ketupat.

Kerap saya melihat sifat kegigihan, ketekunan, kesabaran bahkan kelembutan kasih sayang dan menghormati tamu. Semua itu, termanivestasi dalam diri mereka. Pasalnya, semua itu didasari dengan semangat tradisi punggung dan perayaan ketupat sebagai wujud kebersamaan, perekat sosial dan menjaga nilai-nilai kemanusiaan sekaligus diikat dengan pranata sosial yang tersimpan dalam filosofi Minahasa “Si Tou Timou Tumou Tou” yang artinya Manusia Hidup Untuk Memanusiakan Manusia Lain.

Dan yang tidak kala pentingnya, ialah mereka masih berpegang teguh pada falsafah hidup mba-mba mereka yakni “Berpedoman Hidup Bersendikan Syariat. Syariat Bersendikan Kitabullah”. Hemat saya, ini pesan mercesuar yang syarat makna humanisasi atau kemanusiaan universal dan kesholehan spiritual tanpa membedakan ras, etnik, komunitas, agama dan sektarianisme identitas.

Senada dengan makna kemanusiaan yang diungkapkan oleh seorang penyair termasyhur dan sosok pejuangan revolusi kemanusiaan India yakni Mahatma Gandhi, “Apabila disitu ada cinta dan kemanusiaan maka akan tumbuh maknum opsur atau peradaban umat manusia”.

Ingat, bukan berarti saya mengabaikan perempuan lainnya. Namun saya kerap jumpai ketika berinteraksi dengan mereka sifat keuletan, kesabaran, kelembutan tutur kata begitu indah dalam menjamukan ketupat. Mungkin ini hanyalah prespektif subjektif namun bagi saya, itulah potret keuletan perempuan Kampung Jaton generasi Kiai Mojo yang hendak saya gambarkan dalam tulisan ini.

Pasti banyak yang belum mengenal khikayat dan menyilami sosok perempuan-perempuan Jaton dan makna tradisi lebaran ketupat yang menyimpan syarat makna universal di Nyiur Melambai Sulawesi Utara ini. Lantas siapa itu perempuan Jaton? Ada apa dengannya? Bagaimana makna dalam tradisi lebaran ketupat itu?.

Saya mengawali tulisan saya ini dengan pertanyaan-pertanyaan filosofis diatas sehingga kita bisa menelaah secara kritik, objektif, sistematis dan artikulatif dalam memahami narasi sederhana.

Siapa Itu Perempuan Jawa Tondano?

Cikal bakal lahirnya generasi Kiai Mojo (Muslim Mochammad Khalifah) secara geneologi dari ayahnya bernama Imam Abdul Arif atau lebih dikenal dengan sebutan Kiai Baderan, ia juga dinobatkan sebagai alim ulama terkenal pada masa Kerajaan Pajang. Sedangkan ibunya bernama Raden Ayu atau biasa disapa Kiai Mojo. Sepeninggalan ayahnya pada sekitar tahun 1820, dikuburkan di Desa Mojo Tegalrejo Boyolali Jawa Tengah. Baca: Catatan Sejarah Perang Diponegoro (Basuki Heru, 2007).

Sepeninggalan ayahnya Kiai Mojo melanjutkan tugas ayahnya sebagai guru agama di Pondok Pesantren Mojo. Dimana banyak putra dan putri Keraton Solo belajar di pesantren tersebut.

Ia dijuluki oleh masyarakat pada saat itu sebagai panglima perang dan penasehat agama. Kiai Modjo menikah dengan R.A Mangubumi seorang janda cantik cerai dari Pangeran Mangkubumi paman Pangeran Diponegoro dan karena perkawinan inilah panggilan Kiai Mojo dengan sebutan paman meskipun dari ayah Kiai Mojo kemenangan Pangeran Diponegoro.
Karena ibu Kiai Mojo (R. A Marsilah) adalah sepupu Dipanegoro. Dari pernikahannya dengan R. A Mangubumi inilah konon menghasilkan anak keturunan dua, namun yang satunya meninggal dunia di Makkah sedangkan satu anaknya ikut bersama ayahnya Kiai Mojo hijrah ke Tondano. Ia bernama Gazaly.

Saya menguraikan geneologi silsilah ini tidak secara begitu gamblang namun hanya singkat karena ada sumber otentik yang dimiliki keturunan keluarga Kiai Mojo masih tersimpan dan beberapa sumber lainnya telah meninggal dunia.

Sebagai generasi muda yang berkarier di dunia jurnalis dan gerakan advokasi kemanusiaan dan kebudayaan saya berkeinginan besar untuk menjelaskan secara jelas, namun karena kendala sumber lainnya sehingga hanya beberapa uraian singkat yang saya tuliskan dalam narasi ini.

Namun harapan saya bisa menjadi inspirasi dan pencerahan untuk kita semua. Dari dasar pikir diatas itulah yang membentuk keturunan Kiai Mojo dan kita bisa mengenal sosok perempuan Kampung Jaton. Mereka telah hidup dengan akulturasi budaya antara Jawa dan Tondano yang membentuk diri mereka secara sederhana, ulet, sabar, sopan tutur katanya dan baik moralnya.

Ada yang menarik pada anak keturuan Kiai Mojo. Ada nilai falsafah hidup yang selalu ditanamkan kepada mba-mba mereka atau tetua mereka yakni “Berpedoman Hidup Bersendikan Syariat. Syariat Bersendikan Kitabullah”. Pesan-pesan filosofis inilah yang merepsentasi sosok perempuan Kampung Jaton sebagai air mata keteladanan dalam segala hal, dan ciri khas yang membedakan dirinya dengan perempuan di luar Kampung Jaton.

Dalam kehidupan interaksi sosial perempuan Jaton tidak bisa sembarang begitu saja, ada adab dan nilai yang mereka jaga, hormati. Junjung tinggi, kesopanan, keuletan, ketekunan, kesabaran dan tutur kata yang lembut itu mewarnai karakter mereka yang hidup dan lestari sampai saat ini. Itulah kenapa perempuan Jawa pada umumnya dan Kampung Jaton menyinari mata air keteladanan bagi masyarakat Nyiur Melambai.

Nilai-nilai tersebut kita jumpai juga dalam tradisi lokal masyarakat pada umumnya. Namun berjalannya waktu mengalami pergeseran kebudayaan. Tapi bagi perempuan Jaton, nilai-nilai tersebut terpatri dalam tingkah laku, sikap dan cara berpikir mereka membentuk mereka sebagai perempuan dambaan kaum lelaki. Ada tradisi yang ditanamkan oleh orang tua mereka yakni : “Berpedoman Hidup Bersendikan Syariat. Syariat Bersendikan Kitabullah”.

Nilai tersebut yang menjadi gaya hidup mereka yang dibingkai dengan dua modalitas yakni ilmu dan iman ialah satu dimensi penting yang senantiasa harus dijaga dalam mengarungi hidup dan kehidupan ini. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw: “Barang siapa ingin menginginkan kebahagian dunia, maka tuntutlah ilmu dan barang siapa ingin kebahagiaan akhirat, tuntutlah ilmu. Dan barang siapa ingin keduanya maka tuntutlah ilmu”.

Makna Filosofis Tradisi Lebaran Ketupat Pada Masyarakat Kampung Jawa Tondano

Tradisi ketupat bagi masyarakat Jaton secara filosofis mengandung arti; memperkuat silaturahmi seperti tergambarkan dalam makna anyaman ketupat yang terbuat dari janur atau daun kelapa. Bagi masyarakat Jaton bentuk segi empat pada ketupat memiliki makna kiblat papat limo pancer. Papat dimaknai sebagai simbol empat penjuru mata angin, yakni; timur, barat, selatan dan utara.

Artinya ke arah manapun manusia akan pergi ia tidak boleh melupakan pacer (arah) kiblat atau kiblat dalam sholat. Terlepas dari itu semangat filosofis dari perayaan hari raya ketupat menyimpan makna yang universal yakni sebagai wujud kebersamaan, toleransi, dan keakraban sosial bagi masyarakat yang ada di Kampung Jaton untuk saling bersilaturahmi.

Menurut Herman Johanes De Graaf seorang sejarawan Belanda yang otoritatif dan spesifikasi menulis sejarah Jawa, ia mengatakan bahwa ketupat diperkirakan pertama kali diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga. Ia merupakan penyebar agama Islam di Pulau Jawa.
Untuk memperkenalkan Islam di Nusantara ia kerap membawa tradisi yang cikal bakal disebut sebagai hari raya ketupat setelah usai bulan Ramadhan dan hari raya Idul Fitri bagi masyarakat Jawa pada masa itu. Sehingga mengakar kemasyarakat Jawa pada umumnya, tanpa terkecuali masyarakat di Kampung Jaton.

Namun ada beberapa referensi yang menguatkan sejarah lahirnya perayaan hari raya ketupat bagi masyarakat Jawa. Berdasakan penelitian dari H. J De Graaf dalam buku “Malay Annual”. Ia mengungkapkan bahwa munculnya hari raya ketupat pada masa kesulatanan Demak yang dipimpin Raden Patah awal abad ke-15. De Graaf menduga kulit ketupat tersebut terbuat dari janur berfungsi untuk menunjukkan identitas budaya pesisir yang tumbuh banyak pohon kelapa dan mengindentik etos kebudayaan masyarakat.

Masyarakat Jaton menyebut mereka sebagai nyaku toudano (saya orang Tondano). Sebagai bagian dari masyarakat Tondano, orang Kampung Jaton sangat menjunjung tinggi nilai falsafah “Si Tou Timou Tumou Tou”. yang berarti manusia hidup untuk memanusiakan manusia lain. Dari semangat falsafah inilah, masyarakat Jaton dalam perayaan hari raya ketupat mengimplementasikan nilai-nilai toleransi, saling membangun keakraban dengan sesama tanpa membedakan ras, agama bahkan identitas.

Semua masyarakat di Jaton menyatu secara harmonis dan setara. Tercermin nampak ketika keluarga Kristen yang ada di Tondano pun diundang untuk menikmat kebersamaan dalam hari raya ketupat tersebut.

Semoga narasi sederhana ini bisa memberikan kado terindah dan inspirasi pencerahan dan mercerdaskan bagi generasi Kiai Mojo dan orang Jaton, khususnya untuk melestarikan sejarah dan kearifan lokalnya sebagai jon lokus peradaban. Dan untuk khalayak umum untuk menjaga mata rantai sejarah kita sebagai masyarakat yang memiliki nilai-nilai etos kebudayaan yang tinggi dan beragama. “Orang boleh pantai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah” (Pramodya Ananta Toer). (rus)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *