Tren Baru Literasi kebudayaan, Kezia Rantung Gebrak dengan Peluncuran Buku Dongeng Minahasa di Yogyakarta

Proses launching buku Wewene Sanggar Waktu. (Foto: Istimewa)

Editor/Pewarta: Maher Kambey

YOGYAKARTA (Gawai.co) – Menulis buku merupakan pekerjaan yang tidak mudah, apalagi pekerjaan ini membutuhkan waktu dan niat yang kuat.

Di samping itu, hal yang menjadi latar belakang dari seseorang yang ingin menulis buku juga merupakan faktor penting yang tidak boleh diabaikan karena akan menjadi penentu selesai atau tidaknya karya tersebut.

“Hal yang melatarbelakangi saya dalam penulisan buku dongeng cerita Perempuan Minahasa, adalah untuk memperkuat identitas saya sebagai perempuan Minahasa,” kata perempuan bernama lengkap Kezia Celinda Yanti Rantung.

Dirinya mengaku terinspirasi dari leluhur perempuan Minahasa dalam perjalanan mengambil keputusan.

Menurutnya hal tersebut adalah caranya berterima kasih kepada leluhur dengan mengabadikan cerita perempuan Minahasa.

Bertempat di Juanga Culture Yogyakarta, Kezia berhasil melaunching buku pertamanya dengan judul “Wewene Sanggar Waktu”.

Kezia menuturkan, hal ini dimulai dari munculnya sejumlah pertanyaan, mengapa cerita perempuan Minahasa kebanyakan hanya dari mulut ke mulut? Dan mengapa karakter perempuan Minahasa dominan menyoroti kecantikan?

Dia kemudian bertanya pada diri sendiri. Sebagai perempuan Minahasa, kenapa bukan dirinya saja yang berperan untuk membuat cerita, dengan riset dan pengalaman kebudayaan serta nilai Minahasa yang dijalani selama ini?

“Saya menjawab semua pertanyaan tersebut seorang diri dengan buku pertama saya, yang berjudul Wewene Sanggar Waktu,” ungkap alumni Universitas Negeri Manado (Unima) ini.

Perempuan kelahiran 12 Januari 1998 ini menuturkan, tantangan yang dihadapi dalam menulis buku adalah dikejar waktu.

Karena secara kebetulan dalam proses penulisan Karema, Kezia ditawari penerbit yang tertarik untuk menerbitkan cerita Dongeng Minahasa.

“Faktor keyakinan dan support orang sekitar membuat saya terdorong meluncurkan buku ini. Untuk buku ini saya tulis sendiri, namun melibatkan orang lain sebagai sumber riset ada pak Fredy Wowor, Tona’s Rinto, Tona’as Gerry, senior saya Iswadi Suwal dan Septian Paath,” ungkap perempuan asal Minahasa Tenggara (Mitra) Sulawesi Utara (Sulut) ini.

“Buat teman-teman yang tertarik dan ingin membeli buku ini sekarang sedang pre order dari bulan Oktober sampai 5 November, silahkan kunjungi akun Instagram @penerbitpintu atau bisa DM ke @keziarantung,” tambahnya.

Kezia berharap dirinya bisa meneruskan cerita para leluhur Minahasa lewat dongeng, karena dia meyakini cerita bisa mempengaruhi psikologis pembaca.

“Semoga ini bisa menjadi media penelitian untuk kesustraan kebudayaan Minahasa, juga memantik semangat generasi muda yang tertarik pada kebudayaan Minahasa agar budaya tidak terdegradasi dengan cepat namun bisa berjalan beriringan bersama modernitas,” tutupnya. (Mhr)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *