Proses Hukum Tidak Kooperatif Pengaruhi Penanganan Kasus Kekerasan Seksual

Editor/Pewarta: Maher Kambey

TONDANO (Gawai.co) – Polemik hukum akan perempuan sebagai korban kekerasan seksual sampai hari ini masih diperdebatkan, hal ini dikarenakan perempuan masih cenderung disalahkan meski berstatus sebagai korban.

“Sebagai seorang perempuan terutama berprofesi sebagai advokat, saya menilai kasus-kasus tersebut secara subjektif atau berkaitan dengan alasan-alasan mengapa perempuan bisa menjadi korban pemerkosaan dan pelecehan seksual,” kata perempuan bernama lengkap Chrizta Quintry Karamoy ini.

“Pertama, unsur memaksa yang terpenuhi oleh pelaku pemerkosaan (laki-laki) terhadap perempuan diartikan bahwa laki-laki dengan kekerasan atau ancaman kekerasan dapat dengan mudah memaksa korban kaum lemah (wanita atau anak-anak),” ujarnya.

“Kedua, aspek penegak hukum yang seringkali dalam proses pemeriksaan tidak kooperatif sehingga mengakibatkan perempuan tidak secara terbuka dalam memberi keterangan dan mempengaruhi proses penanganan kasus tersebut,” sebut perempuan penyandang gelar Sarjana Hukum ini.

Lebih lanjut, pemilik akun Instagram @Advtatakaramoy menjelaskan, sebagai advokat dirinya merasa perlu istilah woman support woman.

“Sebenarnya, terlepas dari apapun stigma di masyarakat mengenai korban pemerkosaan maupun pelecehan seksual, saya harus tetap membela hak sesama perempuan terutama hak perlindungan terhadap diskriminasi gender,” tegas perempuan kelahiran Touliang Oki, 26 Mei 1988 ini.

Perempuan yang akrab disapa Tata ini menambahkan bahwa penyidik kepolisian, jaksa, maupun penegak hukum lain terutama sesama perempuan harus bisa saling membantu dengan bersikap kooperatif demi menghilangkan trauma dari korban.

Dia mengungkapkan, membatasi pergaulan menjadi sangat penting demi mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.

“Hal ini karena lingkungan pergaulan memiliki dampak yang sangat besar bagi pribadi seseorang dalam banyak aspek,” sebutnya.

“Kejahatan bisa terjadi kapanpun, di manapun bahkan terhadap siapapun. Menjadi berani saja tidak cukup, sebaiknya lebih membatasi diri dan mulai aktif dalam circle positif,” ujar pemilik hobi membaca ini.

“Lingkungan yang baik dan mental yang sehat dapat membantu melindungi diri dari penindasan maupun kekerasan fisik dan non fisik,” tandasnya. (Mhr)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *