Bolmut  

Pemuda itu Pelopor Pembangunan, Jangan Jadi Penonton dari Sejarah

Mohamad Rendi Pontoh

Dalam setiap detik sejarah perjuangan, pemuda selalu hadir—kadang sebagai api, kadang sebagai bara. Tapi hari ini, saya bertanya pada diri sendiri: masihkah kita, para pemuda, bersedia mengambil peran itu? Ataukah kita telah berubah menjadi penonton yang sibuk bertepuk tangan atau mencaci di pinggir panggung, tanpa pernah benar-benar naik ke atasnya?

Saya percaya bahwa menjadi pemuda bukan sekadar soal usia, melainkan tentang keberanian untuk bersikap. Dimana saat itu kendati masih duduk di bangku Sekolah Dasar masih tergiang dimana para pemuda Binadow (Bolaang Mongondow Utara) sangat bersemangat untuk berjuang menjadikan daerah otonom baru. Meski tak hadir dalam perjuangan itu saya sangat bangga kita punya pemuda-pemuda seperti itu pada zamannya. Warisan itu sekarang kita nikmati bahkan anak cucu kita nanti.

Saat ini kita hidup di zaman yang memberi kita ruang tanpa batas untuk bersuara. Namun, kebebasan itu seringkali berubah jadi kebisingan tanpa makna jika tidak dibarengi dengan kedalaman berpikir dan tanggung jawab moral.

Saya memilih menulis. Bagi saya, menulis adalah bentuk sikap. Ia adalah ruang tempat saya mengolah kegelisahan menjadi gagasan, tempat saya mengubah kemarahan menjadi usulan, dan tempat saya berdiri saat saya tak bisa berteriak di jalanan. Karya tulis tidak mengenal batas, tidak dibatasi oleh pangkat atau jabatan. Selama masih hidup dan berpikir, saya ingin terus menulis—sebagai bentuk kehadiran saya dalam proses perubahan.

Sayangnya, di tengah derasnya arus media sosial, banyak dari kita justru terjebak dalam pola pikir instan. Kita cepat bereaksi, tetapi malas merefleksi. Kita cepat menghakimi, tapi enggan memahami. Kita lantang mengkritik, namun jarang menawarkan jalan keluar.

Padahal, sejarah tidak akan pernah mencatat mereka yang hanya ramai di kolom komentar. Sejarah hanya mencatat mereka yang bersikap—yang berani berpikir, menyuarakan, dan bertindak, sekecil apapun bentuknya. Kita tidak harus jadi orator ulung atau pemimpin besar. Cukup jadi manusia yang tidak diam ketika melihat ketimpangan, cukup jadi pemuda yang tidak takut berpikir ketika banyak memilih membisu.

Bagi saya, kontribusi adalah soal pilihan. Dan saya memilih menulis. Menulis bukan hanya tentang berbagi opini, tetapi tentang menciptakan warisan pemikiran. Baik atau buruk, biarlah waktu dan orang lain yang menilai. Tugas saya hanyalah bersikap dan tidak berhenti.

Sebab jika kita berhenti bersikap, kita bukan hanya kehilangan suara—kita kehilangan arah sebagai pemuda.

Intinya disini kita harus bersikap entah itu kritik, ide bahkan gagasan. Pada prinsipnya kita punya andil yang sama dalam hal apapun apalagi itu soal kebijakan pemerintah. Sebab merumuskan sesuatu tanpa nalar kritis dan solusi kita hanya ngoceh (omongkosong) belaka. Penerepan ini penting adanya, maka dari itu kontribusi saya sendiri, ya di tulisan, karya itu limitless tak ada batas. Selama kamu hidup ya harus bersikap dan itu harus terus kamu ulang sampai itu menjadi hal yang berguna, dan pada akhirnya menjadi legacy (warisan) yang bisa kita tinggalkan entah itu baik ataupun buruk.

Selamat HUT Ke 18 lipu kotabikuu, Sejalan Menuju Bolmut Makin Maju.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *