Karena Kemurahan Tuhan Saya Selamat Dari Ventilator

 

Oleh Immanuel Richendry Hot.



Editor: Tim Gawai


TOMOHON (Gawai.co) – Kesaksian ini saya sampaikan kepada seluruh masyarakat Indonesia dimanapun mereka berada mengingat wabah Virus Covid-19 di Era New Normal semakin menakutkan kita semua mengingat hampir seluruh daerah di Indonesia memperoleh Predikat Zona Merah (Red Zone), kiranya cerita ini dapat menginspirasi semua orang untuk lebih memahami bahwa Covid 19 itu ada dan nyata yang saya alami sendiri beberapa waktu yang lalu.  

Saya adalah ASN pada Kejaksaan RI yang bertugas di Tomohon Sulawesi Utara sebagai Kepala Kejaksaan Negeri Tomohon  sejak tanggal 30 Januari 2020 selama tiga bulan saya menjabat di Kejaksaan Negeri Tomohon, mulai merebak di Indonesia bahkan di dunia dengan Virus yang sangat mematikan dikenal dengan virus Corona atau Covid-19. 

Sekitar tanggal 5 September 2020 saya berangkat ke Jakarta menemui keluarga. Selama saya di Jakarta, saya kena flu, batuk berdahak  dan saya pikir ini karena perubahan cuaca mengingat di Tomohon udaranya dingin sedangkan di Jakarta panas. Salah satu gejala Covid-19 adalah batuk kering bukan batuk berdahak dan saya tidak terpikirkan bahwa itu adalah awalnya Virus Covid-19 ada di tubuh saya.

Tanggal 8 September saya kembali ke Tomohon untuk melaksanakan tugas saya. Beberapa hari kemudian saya merasakan flu dan batuk saya mulai sembuh namun saya merasakan hilang indra penciuman dan badan saya lelah. Pada hari Rabu tanggal 16 September 2020 sekitar pukul 19.30 saya pulang dari setelah mengikuti  Rakernis Bidang Tindak Pidana Umum secara Virtual. 

Dan sampai di rumah saya langsung mengganti pakaian saya untuk tidur namun saudara Ivan (supir saya) menanyakan “Apakah Bapak tidak mau makan dulu?” dan saya jawab “saya mau tidur, saya capek”.  Keesokan harinya saya tidak tahu lagi apa yang terjadi dan kalaupun dapat saya ceritakan itu cerita yang saya dengar langsung dari Istri saya, Dokter dan Perawat, Staf yang menyertai saya, selama saya dirawat di RSPP Prof. Dr. R.D Kandou Manado, Sulawesi Utara yang merupakan  Rumah sakit khusus merawat Covid-19. 

Keesokan harinya, saya tidak bangun dari tidur sebagaimana biasanya. Hal itu membuat Ivan (supir) dan ibu Masye (ART) bingung dan panik. Mereka mencoba membangunkan saya dengan menggedor pintu kamar, namun saya tidak kunjung bangun. Kemudian Ivan mendatangi rumah Ibu Dapot (istri Kasi Pidum) yang berada di belakang rumah dinas saya. Kemudian Ibu Dapot menghubungi Istri saya melalui Hp dan menyampaikan keadaan saya saat itu.

Selanjutnya  Ibu Dapot  menghubungi Pak Dapot menyampaikan kondisi saya dan selanjutnya  mereka  kembali ke rumah dan membuka pintu kamar ternyata saya sudah tergeletak namun masih bernafas. 

Kemudian istri saya menelpon Pak Hanny  dari Dinas Kesehatan untuk meminta tolong agar dikirimkan ambulance beserta dokternya. dibawah ke rumah sakit Anugrah Tomohon. 

Di Rumah sakit Anugerah Tomohon saya langsung dimasukan ke IGD kemudian ditangani oleh dokter dan perawat dimana mereka memasang seluruh perlengkapan pernafasan karena melihat Saturasi (oksigen yang larut dalam darah) rendah.

Dan dokter berusaha menanyakan saya dengan membangunkan saya, “Pak Kajari sakit apa?” dan saya jawab “Saya capek”. Melihat kondisi saya sudah semakin melemah kemudian sekitar Pukul 17.30 Wita saya dibawa dengan Ambulance untuk dirujuk ke Rumah Sakit Siloam Manado.

 

Dalam perjalanan menuju Manado istri saya sempat menelpon ke handphone saudara Glint yang mendampingi saya di Ambulance.  Ketika istri saya videocall dengan saya, jelas dilihat istri saya, saya merenspon dengan membuka mata kemudian istri saya mengatakan “Papi kamu harus kuat, saya mau ke bandara untuk berangkat ke Manado”. Dan saya menjawab “Iya” Sambil mengacungkan dua tangan dengan simbol jempol. 

Sesampainya di Rumah Sakit Siloam Manado,  saya langsung di bawah  ke ruang IGD, tapi  saya belum langsung mendapat penanganan karena penanggungjawab pasien harus menandatangani  persetujuan sesuai dengan SOP di Rumah Sakit tersebut mengingat  Rumah Sakit Siloam tidak merawat pasien Covid19. 

Karena belum ada yang berani untuk menandatangani dokumen tersebut, akhirnya Dokter menelpon istri saya via handphone dari  Pak James (Kasi Intel) sambil menjelaskan jika dokumen tersebut tidak ditandatangani maka saya belum dapat penanganan lebih lanjut, setelah mendengar penjelasan dokter tersebut istri saya meminta supaya salah satu dari yang ikut mendampingi saya untuk menandatangani dokumen pasien. 

Beberapa saat kemudian Dokter kembali menelpon istri saya untuk mengabarkan bahwa kondisi saya semakin memburuk, atau kalau menggunakan bahasa dari dokternya “parah”. Dokter menjelaskan kondisi ginjal saya rusak dan gula darah saya juga naik. Kemudian dilakukan Swab dan hasilnya positif Covid-19.

Dokter pun memberikan alternative rekomendasi rumah sakit rujukan yaitu di Rumah Sakit Paal 2 atau RSPP Prof. Dr. R.D Kandouw, istri saya meminta saran Rumah Sakit mana kiranya yang paling baik dan Dokter merekomendasikan RSPP Prof. Dr. R.D Kandou karena bertipe A.

Kemudian istri saya memutuskan agar saya di rujuk ke RSPP Prof. Dr. R.D Kandouw. Saya pun dirujuk lagi ke RSPP Prof. Dr. R.D Kandouw tetap dalam kondisi tidak sadarkan diri. 

Pada hari Jumatnya setelah saya sampai di RSPP Prof. Dr. R.D Kandouw, kurang lebih pukul 02.00 WITA, istri saya dihubungi oleh dokter untuk memberitahukan bahwa kondisi saya semakin memburuk dan mengatakan bahwa harapan hidup saya tinggal 10% saja, dan istri saya diminta untuk menandatangani surat pernyataan jika sesuatu yang tidak diingikan terjadi maka saya harus dikuburkan sesuai dengan Prosedur tetap (Protap) Covid 19 dan dokumen ini harus disetujui dan ditandatangi.

Pagi harinya istri saya  tiba di Bandara Sam Ratulangi Manado langsung menuju  ke RSPP Prof. Dr. R.D Kandou  dan sesampainya di Rumah sakit Istri saya diundang ke ruang Pemantauan Pasien Covid yang dirawat di ICU dan langsung menanyakan kondisi saya, dijelaskan  oleh Dokter bahwa saturasi saya 50/40 yang artinya kondisi saya makin memburuk.

Dalam kondisi saya yang seperti itu, dihadapan suster dan dokter istri saya berucap “Tapi kita  punya Tuhan, saya bisa berdoa, saya punya harapan kalau suami saya pasti hidup” mendengar itu dokter pun membalas “hanya itulah satu-satunya jalan, hanya dengan doa bisa menyembuhkan semua”.

Kemudian istri saya diminta menandatangani surat ijin untuk menggunakan ventilator, awalnya istri saya belum mau menandatangani surat tersebut, tapi setelah dijelaskan bahwa ini adalah penanganan terakhir karena kondisi saya yang saat itu memburuk maka istri saya pun akhirnya menandatangani surat tersebut dan setuju supaya saya dipasangkan ventilator.

Setelah itu istri saya keluar dari ruang edukasi istri saya terduduk dan menangis sambil terus berdoa, dalam  doanya istri saya berkata “Tuhan berikan kesempatan bagi suami saya  untuk hidup, agar dia sembuh dan dapat memuliakan nama Tuhan,” ungkapnya. 

Beberapa saat kemudian saat istri saya berjalan menuju Pos Satpam dan ketika istri saya berada di Pos Satpam seorang laki-laki datang dan  memperkenalkan dirinya “Saya Pak Pajaitan Direktur Medic RSPP Prof. Dr. R.D Kandou.”

Beliau mengatakan kepada istri saya  ”Memang kondisi Bapak  kurang bagus  tapi jika Ibu  ingin berdoa, saya bisa meminjamkan Handie-Talkie. Nanti HT yang ada di dalam ruang ICU tempat Bapak dirawat HT tersebut  akan ditaruh di kuping Bapak.”

Sewaktu akan berdoa istri saya diminta oleh Pak Panjaitan “Ibu jangan menangis, kalau ibu menangis kondisi Bapak yang ada di dalam Ruang ICU bisa menurun, berdoa biasa saja supaya bapak bisa semangat.”

Kemudian Istri saya menyampaikan kepada saya “Papi ini Mami, Mami dan Steven sudah ada disini, Papi semangat, saya yakin Tuhan pasti menyembuhkan papi.”

Dari cerita suster yang bertugas di dalam Ruang ICU, melihat kejadian itu suster tersebut juga menangis  terharu karena pada saat itu saya merespon doa istri saya sambal menangis. 

Walau kondisi saya dalam beberapa hari belum membaik, tapi istri saya tetap selalu berdoa bahkan mereka berdoa sambil bergandengan tangan bersama-sama (Istri saya, Steven dan ibu Masye) di dalam setiap doa mereka, “Papi pasti sembuh, Papi pasti sembuh.”

Hari Keempat saya kritis istri saya masuk IGD RSPP Prof. Dr. R.D Kandou. karena tensi saat itu 199. Hal ini dikarenakan kecapean dan tidak nafsu makan. Setelah beberapa jam istrirahat dan diberi obat penurun darah tinggi, setelah tensi menunjuk angka 150 istri saya diperbolehkan pulang untuk rawat jalan di rumah dan tugas mengunjungi saya di Rumah Sakit digantikan Steven. 

Hari ke lima Steven banyak mendengar orang-orang membicara kan  saya sudah tidak ada harapan, Mayat Hidup yang membuat dia marah namun kemarahan itu dia lampiaskan kepada saya.  Steven Ijin masuk keruangan pemantauan dan minta ijin suster yang jaga untuk berdoa buat saya. Namun yang dilakukan bukan berdoa buat saya tapi berteriak membentak saya “papi Bangun! Papi bangun! Papi jangan tidur saja, papi harus kuat, papi harus sehat!”

Reaksi saya ketika mendengar teriakan Steven sekujur tubuh saya menggelepar dan meronta ingin mencari Steven namun oleh suster dan mantri yang berada pada saat itu di ruang ICU menenangkan saya kemudian reaksi dari teriakan Steven pada sore harinya saya mulai sadar  dan meminta Handphone pada istri saya melalui suster. 

Keesokan harinya Rabu tanggal 23 September 2020 saya benar-benar sudah sadar dan  yang saya rasakan saat itu saya seperti orang yang baru bangun setelah tidur panjang kelelahan karena perjalanan jauh. Begitu saya sadar saya bertanya kepada suster “Saya ada dimana?” kemudian dijawab suster tersebut kalau saya ada di RSPP Prof. Dr. R.D Kandou.

Dan saya diberitahu oleh suster saya tidak sadarkan diri selama 6 hari dan bapak hebat luar biasa karena bapak adalah satu-satunya pasien yang hidup di Sulawesi Utara  (dari 19 pasien yang dipasang ventilator sampai dilepas). Kemudian saya lihat ada Handphone di meja dekat tempat tidur saya dan saya tanyakan “ini Handphone siapa?”

Lalu suster menjawab “Ini Handphone Pak Immanuel yang bapak minta tadi malam dan Handphone tersebut diantar persis tadi malam jam 12.” Ternyata sebelum betul-betul sadar, saya sempat meminta handphone saya.

 Langsung saya ambil Handphone tersebut dan saya telpon pak Andy M. Iqbal Kajati Sulut, “Pak, Ijin saya sakit” terus dijawab pak Kajati “Saya sudah tahu, saya monitor kamu, jangan banyak pikir pekerjaan dulu dan yang lain-lain kamu istirahat saja dulu, ikuti peraturan Rumah Sakit dan tetap semangat.”

Puji Tuhan Mujizat terjadi terhadap diri saya,  dimana saya sudah dinyatakan tidak ada harapan secara medis namun ternyata Tuhan masih sayang dan memberikan saya kesempatan yang kedua. Dan setelah diobservasi ternyata ginjal saya masih bagus, gula darah saya normal juga jantung saya ok.

Karena  saya selalu melihat Virus Covid 19 dengan Mindset saya ternyata pada malam hari setelah saya sadar sekitar antara pukul 23.00 WITA saya melihat ada seorang Bapak memakai Peci dan sarung berada di Ruangan ICU. Orang tersebut berdiri di depan kamar mandi (pintu kamar mandi terbuka setengah) dan berdoa dengan menggunakan bahasa Arab.

Setelah selesai berdoa orang tersebut menyapa saya, “Selamat malam pak Immanuel” sambil menghampiri saya dan bersalaman sambil mengatakan “Selamat Pak Immanuel semoga cepat sembuh” kemudian orang tersebut keluar dari ruang ICU. 

Pada saat itu saya sempat berpikir apa yang salah dari yang telah  saya lihat, yang masuk ke ruangan ICU adalah Dokter dan Para Medis yang berpakaian APD lengkap, sedangkan orang itu tidak, lalu orang itu siapa? saya tidak banyak berpikir atas apa yang saya lihat selanjutnya saya tidur.

Keesokan paginya saya bertanya kepada suster tentang apa yang saya alami tadi malam dan suster tersebut menceritakan bahwa orang yang saya ceritakan adalah pasien Covid pertama (kembali dari umroh) dan pasien tersebut sudah meninggal.

Puji Tuhan ternyata Tuhan memperlihat kan kepada saya apa yang saya anggap selama ini ibarat setan itu ada tapi tidak ada sebagaimana saya melihat kepada Pandemi Covid 19. 

Disamping Covid-19 ternyata telah terjadi pendarahan lambung  dan saya dirawat selama 14 hari. Setelah lambung saya normal kembali dan dilakukan test Swab terhadap saya, kemudian saya dinyatakan negatif untuk kedua kalinya, kemudian tepat tanggal 17 Oktober 2020 saya diperbolehkan pulang dari rumah sakit untuk  Isolasi mandiri selama 14 hari dan saya mulai aktif kembali bekerja di kantor tanggal 02 November 2020.

Satu hal yang saya ingin sampaikan kepada bapak ibu yang membaca kisah saya, bahwa Covid itu ada dan nyata. Covid bukanlah sesuatu  yang aib sehingga tidak perlu disembunyikan dari orang lain namun apabila ada anggota keluarga yang terjangkit Covid-19 agar menginformasikan ke seluruh keluarga, teman, sahabat, baik grup-grup yang ada dalam WA kita untuk minta didoakan agar kita disembuhkan dari Covid-19.

Dan jangan takut menghadapi Covid. Di Dalam menghadapi Covid, kita harus rileks, tidak banyak pikiran, banyak istirahat dan jangan lupa taat SOP Covid 19, Pakai Masker, Jaga Jarak Sering Cuci Tangan. Semoga kesaksian ini dapat menjadi berkat buat yang membaca.
(Tim Gawai)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *