Bitung  

Penetapan 5 Tersangka Kasus Dana Hibah GMIM, Ini Pandangan Dr Michael Remizaldy Jakobus SH MH

Dr Michael Remizaldy Jacobus SH MH. (foto:istimewa)

Editor/Pewarta: Alfondswodi

BITUNG (Gawai.co) – Warga GMIM se-Sulut digegerkan dengan ditetapkannya tersangka, Ketua Badan Pekerja Majelis Sinode (BPMS) GMIM, Pdt HA dan ke-4 tersangka lainnya, direspon oleh salah satu kader GMIM asal Kota Bitung. Selasa (08/04/2025).

Dalam keterangannya, Dr Michael Remizaldy Jacobus SH MH selaku advokad terbaik Sulut menyatakan bahwa prinsipnya Penyidik seharusnya sudah memiliki minimal 2 (dua) alat bukti sebelum menetapkan seseorang sebagai tersangka. Itulah sebabnya, ketika dikejar awak media untuk menanggapi kasus tersebut yang saat ini sangat viral didunia maya, ia mengatakan kalau terkait kasus ini secara spesifik pasti penyidik dan kuasa hukum tersangka yang mengetahui “isi perutnya” seperti apa.

“Akan tetapi, perlu untuk dipahami bahwa setiap kasus dana hibah itu memiliki kemungkinan mengarah ke tindak pidana korupsi (tipikor) menurut 3 (tiga) alasan substantif, yakni jika terdapat perbuatan melawan hukum dan/atau penyalahgunaan kewenangan pada: pertama, level permohonan hingga pencairan dana hibah, kedua, level penggunaan dan pertanggungjawaban dan hibah, atau ketiga, pada kedua level tersebut secara bersamaan”, papar Doktor Ilmu Hukum jebolan Fakultas Hukum Universitas Trisakti ini.

Permendagri Nomor 77 Tahun 2020;

Doktor ilmu hukum termuda Kota Bitung ini menambahkan bahwa: Pertama, menurut Permendagri Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah dan beberapa petunjuk teknis menyebutkan kalau belanja hibah memenuhi kriteria paling sedikit:

a) peruntukannya secara spesifik telah ditetapkan;

b) bersifat tidak wajib, tidak mengikat;

c) tidak terus menerus setiap tahun anggaran, kecuali:

(1) kepada pemerintah pusat dalam rangka mendukung penyelenggaraan pemerintahan daerah sepanjang tidak tumpang tindih pendanaannya dengan APBN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

(2) badan dan lembaga yang ditetapkan oleh pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;

(3) partai politik dan/atau ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan;

d) memberikan nilai manfaat bagi pemerintah daerah dalam mendukung terselenggaranya fungsi pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan.

e) memenuhi persyaratan penerima hibah.

Dengan demikian, penyalahgunaan wewenang yang menjurus ke korupsi, kata Dr Michael Remizaldy Jacobus SH MH, bisa saja terjadi ketika ada kesengajaan meloloskan permintaan hibah yang tidak memenuhi syarat.

“Apalagi ketika Pejabat terkait sengaja meloloskan atau tidak meneliti secara seksama pemenuhan syarat, maka yang bisa kena tipikor khususnya penyalahgunaan wewenang sesuai Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor adalah Pejabat Pemda terkait selaku pemberi hibah,” katanya.

Ketika ditanyakan secara spesifik terkait pemberian hibah ke GMIM yang berlangsung setiap tahun, Jacobus menegaskan itu dapat saja diskualifikasi sebagai pelanggaran.

“Kemungkinan itu yang jadi sasaran penyidik, walaupun bisa saja Pemda memiliki alasan hukum yang menjustifikasinya”, papar Advokat berdarah Nusa Utara.

Lebih lanjut, “kedua, tipikor pada level penggunaan dana hibah bisa saja disebabkan oleh penggunaan yang secara eksplisit dilarang oleh Undang-Undang atau dilarang peraturan-peraturan yang diterbitkan pemerintah dan berakibat pada memperkaya diri sendiri atau orang lain atau koorporasi. Sedangkan, ketiga adalah kombinasi kedua alasan dimaksud,” jelas Jacobus.

Selanjutnya, ketika ditanyakan apakah dana hibah dimaksud bisa dipergunakan untuk hadiah atau katakanlah semacam “diakonia” kepada Pendeta-pendeta atau pihak lainnya.

“Jawabannya sederhana, bisa kena tipikor atau tidak sangat tergantung pada sumber hukum apa yang melarang penggunaan dana hibah untuk hadiah atau “diakonia”. Jadi, bila pemberian hadiah itu dilarang secara eksplisit dalam Perjanjian Hibah Daerah antara Pemda sebagai pemberi hibah dan organisasi keagamaan sebagai penerima hibah, maka pelanggaran tersebut bukan merupakan perbuatan melawan hukum pidana, melainkan perbuatan melawan hukum perjanjian atau perbuatan melawan hukum perdata atau administratif yang berujung pada TGR (Tuntutan Ganti Rugi)”, urai Jacobus yang juga telah menyelesaikan disertasinya dibidang tindak pidana korupsi.

Advokat yang pernah membebaskan terdakwa tipikor yang menjabat Bendahara Inspektorat Kabupaten Mitra tahun 2019 ini menjelaskan, larangan penggunaan dana hibah untuk peruntukan tertentu tidak dapat menjadi pidana apabila larangan tersebut tidak diatur dalam regulasi negara secara tertulis.

“Itulah sebabnya, jika benar penetapan tersangka terhadap Pdt. HA karena telah menggunakan dana hibah untuk pemberian hadiah berupa diakonia uang atau barang atau transaksi lainnya, maka kita lihat dulu rujukan hukumnya. Apakah itu dilarang peraturan perundang-undangan, atau larangan diatur dalam Perjanjian. Jika dilarang peraturan perundang-undangan, maka itu tipikor. Sedangkan, jika dilarang oleh Perjanjian Hibah, maka itu ranah hukum perdata yakni wanprestasi yang berujung pada TGR (Tuntutan Ganti Rugi), bukan pidana, “ tutur advokat yang berkantor di Citylofts Sudirman Jakarta Pusat ini.

Jacobus juga menjelaskan kenapa harus dilarang secara eksplisit oleh regulasi negara karena Penjelasan Pasal 2 UU Pemberantasan Tipikor telah dikoreksi oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 003/PUU-IV/2006 dan Putusan MK Nomor 005/PUU-III/2005, yang awalnya definisi perbuatan melawan hukumnya dalam arti (formele wederrechtelijkheid) dan dalam arti materiil (materiele wederrechtelijkheid) dimana perbuatan seseorang dikualifisir melawan hukum tidak hanya karena ada larangan eksplisit atau aturan eksplisit tertulis, akan tetapi juga karena melawan rasa keadilan masyarakat.

“Namun saat ini perbuatan melawan hukum dalam Pasal 2 telah diubah menjadi perbuatan melawan hukum dalam arti formal semata, sehingga aturan eksplisit yang dilanggar harus benar-benar ada dan tertulis (lex scripta). Itulah sebabnya, ketidak-bolehan atau kebolehan penggunaan dana hibah untuk peruntukan tertentu, harus mengacu pada peraturan perundang-undangan yang eksplisit,” tandas Jacobus. (*/ayw)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *