Pewarta: Rendi Pontoh
BOLTARA (Gawai.co) – Malam itu seharusnya menjadi waktu istirahat bagi Supli Van Gobel, wartawan Identik.news yang berdomisili di Desa Boroko Timur, Kabupaten Bolaang Mongondow Utara (Boltara). Namun Selasa malam (2/6/2025), suasana hening di kediamannya mendadak berubah menjadi tegang.
Tiga pria berpakaian preman mendatangi rumahnya. Supli mengaku kaget dan tidak menyangka bahwa ketiganya merupakan oknum anggota Polres Boltara. Kedatangan mereka bukan untuk silaturahmi, melainkan untuk menanyai Supli tentang sebuah berita yang ia tulis—termasuk siapa narasumbernya.
“Mereka tanya soal isi berita dan siapa yang beri informasi. Saya tidak nyaman, apalagi itu terjadi malam-malam di rumah saya sendiri. Keluarga saya ikut cemas dan ketakutan,” tutur Supli kepada Media ini.
Bagi seorang jurnalis, menjaga integritas dan kerahasiaan narasumber adalah bagian tak terpisahkan dari tugas dan tanggung jawab profesi. Namun, ketika aparat—yang seharusnya melindungi—justru mendatangi rumah dan mempertanyakan kerja jurnalistik secara langsung, maka yang terjadi bukan lagi klarifikasi, melainkan intimidasi.
Suasana malam yang sunyi berubah menjadi ancaman senyap. Tidak ada kekerasan fisik, namun tekanan psikologis itu sangat nyata. Supli mengaku terus merasa waswas pasca kejadian itu. Bukan hanya soal dirinya, tetapi juga tentang rasa aman bagi keluarganya.
“Saya hanya menjalankan tugas jurnalistik, sesuai kode etik dan UU Pers. Tapi dengan kejadian ini, saya merasa profesi wartawan makin tidak dihargai,” ujarnya.
Intimidasi Ini Harus Dikecam Keras
Kasus yang menimpa Supli Van Gobel adalah alarm keras bagi kita semua. Di saat demokrasi seharusnya melindungi kebebasan berpendapat dan kemerdekaan pers, praktik intimidasi terhadap jurnalis justru masih terjadi—dan ironisnya dilakukan oleh aparat penegak hukum.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dengan tegas menjamin kemerdekaan pers. Dalam pasal-pasalnya dijelaskan bahwa wartawan berhak menolak mengungkapkan identitas narasumber dan dilindungi dalam menjalankan profesinya. Oleh karena itu, tindakan tiga oknum yang mendatangi rumah wartawan demi menanyai isi pemberitaan dan narasumber adalah bentuk pelanggaran serius, baik secara hukum maupun etika.
Intimidasi, dalam bentuk apa pun, tidak boleh ditoleransi. Jika dibiarkan, ini bisa menjadi preseden berbahaya bagi jurnalisme lokal di Boltara dan daerah lainnya. Wartawan akan bekerja dalam bayang-bayang ketakutan, dan publik akan kehilangan akses terhadap informasi yang objektif dan berimbang.
Polres Boltara harus memberikan klarifikasi terbuka kepada publik. Jika benar ada pelanggaran, maka proses hukum internal dan etik harus ditegakkan. Wartawan tidak boleh dibungkam, apalagi diteror di rumahnya sendiri.
Kita semua harus mengingat: membungkam satu suara jurnalis, sama dengan membungkam hak publik untuk tahu. Kebebasan pers bukan keistimewaan, melainkan fondasi demokrasi. (rp)