Ulasan Hukum Pemilu: Hierarki Peraturan Perundang-undangan dan Kedudukan Peraturan KPU di Dalamnya

Komisioner KPU Sulut Meidy Y. Tinangon. (Foto: ist)

Editor: Martsindy Rasuh
Penulis: Meidy Yafeth Tinangon, Komisioner KPU Sulut                                                        (Ketua Divisi Hukum dan Pengawasan)

MANADO (Gawai.co) – Peraturan perundang-undangan di Indonesia dalam kenyataannya terdiri dari berbagai jenis dan karenanya perlu diatur dalam sebuah hierarki atau tata urutan dari tingkatan paling rendah hingga yang tertinggi.

Menurut Asshiddiqie dalam bukunya Teori Hierarki Norma Hukum (Konstitusi Press dan Jimly School of Law and Government, Jakarta, 2020) menyebut bahwa rujukan utama pemikiran tentang hierarki produk hukum atau norma hukum dalam dunia ilmu hukum di Indonesia, adalah Hans Kelsen dengan teori tentang hierarki norma hukum yang dikembangkannya.

Dapat dikatakan, bahwa hampir semua sarjana hukum di Indonesia mengenal dan bahkan sangat tergantung pada doktrin berlakunya sistem hierarki norma dalam ilmu hukum.

Asshiddiqie menulis bahwa sistem hierarki atau hieraki ini dianggap sangat penting dalam kaitannya dengan beberapa asas atau prinsip yang berlaku universal dalam hukum, terutama prinsip: lex superior derogate legi inferior (hukum yang lebih tinggi mengabaikan berlakunya hukum yang lebih rendah).
Dengan prinsip ini maka menurut Asshiddiqie, sistem norma hukum itu harus dilihat dalam konteks struktur hierarkis yang ketat, di mana norma yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan norma hukum yang kedudukannya lebih tinggi dalam susunan hierarki antar norma hukum.

KPU sebagai lembaga negara yang dibentuk berdasarkan perintah UUD NRI 1945, diberikan kewenangan undang-undang untuk membentuk produk hukum berupa Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) dan Keputusan KPU.

Khusus untuk PKPU, masih banyak pihak yang belum memahami kedudukan PKPU dalam hierarki atau tata urutan peraturan perundang-undangan. Hal ini disebabkan karena kedudukan PKPU tidak disebutkan secara jelas dalam hukum positif yang mengatur terkait hierarki produk hukum.

Dimana sebenarnya posisi PKPU dalam hierarki produk hukum di republik ini?

Hierarki Peraturan Perundang-undangan

Menurut ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.

Terkait susunan atau hierarki peraturan perundang-undangan, awalnya menggunakan ketentuan Tap MPR No. III/MPR/2000, tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan. Namun dalam perkembangan Tap MPR tersebut sudah tidak berlaku lagi berdasarkan Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003, yang dalam ketentuan Pasal 4 angka 4 menyebutkan bahwa Tap MPR Nomor III/MPR/2000 dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya undang-undang.

Dengan pengertian lain, bahwa TAP MPR Nomor III/MPR/2000 memiliki sifat berlaku sementara, dan masa berlakunya habis, ketika pembuat undang-undang mengundangkan undang-undang terkait tata urutan peraturan perundang-undangan.

Dalam perkembangannya, undang-undang yang mengatur tentang pembentukan peraturan perundang-undangan yang substansinya turut mengatur tata urutan peraturan perundang-undangan telah terbentuk dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Undang-Undang tersebut, kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Dengan demikian Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 tidak berlaku lagi dan tidak bisa dijadikan rujukan.

Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan menurut ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 15 Tahun 2019 adalah sebagai berikut:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

4. Peraturan Pemerintah;

5. Peraturan Presiden;

6. Peraturan Daerah Provinsi; dan

7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Kedudukan Peraturan KPU

Dimana sebenarnya posisi Peraturan KPU (PKPU) dalam Hierarki Peraturan Perundang-undangan di Republik ini?

Memang jika kita hanya membaca ketentuan Pasal 7 ayat 1 UU 12 Tahun 2011, kita tidak akan menemukan frasa “peraturan KPU” di dalamnya. Namun demikian, hal tersebut janganlah membuat kita buru-buru mengambil kesimpulan bahwa ternyata PKPU tidak termasuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia, bahkan tidak masuk kategori sebagai sebuah peraturan perundang-undangan.

Peraturan KPU sebagai bagian dari hierarki peraturan perundang-undangan akan nyata dalam substansi pasal selanjutnya, yaitu Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) UU 12 Tahun 2011.

Ketentuan ayat 1 menyebutkan bahwa: “jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.”

Selanjutnya ketentuan ayat 2 menyebutkan bahwa: “Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.”

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, jelaslah bahwa PKPU dikategorikan sebagai peraturan yang ditetapkan oleh komisi yang setingkat yang dibentuk dengan undang-undang atau pemerintah atas perintah undang-undang.

Lebih lanjut, PKPU jelas diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat karena diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan dibentuk berdasarkan kewenangan yang diberikan Undang-undang kepada KPU.

PKPU merupakan bagian dari peraturan perundang-undangan yang menjadi kewenangan KPU untuk menyusunnya dalam rangka melaksanakan Pemilu. PKPU merupakan pelaksanaan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud Pasal 75 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan umum yang menyebutkan bahwa: “untuk menyelenggarakan Pemilu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, KPU membentuk Peraturan KPU dan Keputusan KPU. Peraturan KPU merupakan pelaksanaan peraturan perundang-undangan.”

Untuk pelaksanaan pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati atau wali kota dan wakil wali kota, ketentuan Pasal 9 huruf a Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020, disebutkan: “tugas dan wewenang KPU dalam penyelenggaraan pemilihan meliputi: a. menyusun dan menetapkan Peraturan KPU dan pedoman teknis untuk setiap tahapan pemilihan setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat, dan pemerintah.”

Kewenangan Judicial Review PKPU

Apabila dalam pelaksanaannya ada warga negara atau institusi beranggapan bahwa terdapat pasal-pasal dalam PKPU yang bertentangan dengan undang-undang, maka warga negara atau institusi yang merasa dirugikan dapat mengajukan uji materi (judicial review) PKPU ke Mahkamah Agung yang memiliki kompetensi/kewenangan absolut untuk melakukan pengujian peraturan di bawah undang-undang.

Hanya Mahkamah Agung Republik Indonesia yang dapat menetapkan bahwa Peraturan KPU bertentangan dengan undang-undang dan tidak berkekuatan hukum mengikat. Demi keadilan dalam Ketuhanan Yang Maha Esa, dalam suatu negara hukum, maka sewajarnyalah setiap warga negara menjunjung tinggi setiap peraturan perundang-undangan yang berlaku, sah dan berkekuatan hukum mengikat, termasuk PKPU.

Kompetensi/kewenangan absolut Mahkamah Agung untuk melakukan pengujian peraturan di bawah undang-undang terhadap undang-undang didasari pada ketentuan:

1. Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa: “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang.”

2. Pasal 20 ayat (2) huruf b Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan bahwa: “Mahkamah Agung berwenang: menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang.”

3. Pasal 9 ayat (2) UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan yang menyebutkan bahwa: “Dalam hal suatu Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.”

4. Lebih spesifik terkait pengujian PKPU terhadap undang-undang, Pasal 76 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mengatur bahwa: “Dalam hal Peraturan KPU bertentangan dengan Undang-undang ini, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.”

Rumusan pasal ini menegaskan bahwa Peraturan KPU ang kedudukannya sebagai pelaksanaan undang-undang, hanya dapat dibatalkan setelah melalui proses pengujian di Mahkamah Agung, sesuai kewenangan absolut yang dimilikinya.

Penutup: Konsekwensi Hukum PKPU

Sebagai sebuah peraturan perundang-undangan yang jelas kedudukannya dalam hierarki peraturan perundang-undangan, serta sifatnya yang diakui dan mengikat, maka PKPU memiliki konsekwensi-konsekwensi bagi setiap masyarakat atau institusi yang terkait dengan sebuah PKPU.

Pihak pertama yang wajib hukumnya serta memiliki tanggung jawab moral untuk melaksanakan PKPU adalah KPU dan jajarannya. Tidak ada alasan bagi KPU dan jajarannya untuk mangkir dari pelaksanaan peraturan yang dibuatnya. Pelanggaran terhadap PKPU yang masih berlaku merupakan pelanggaran kode etik berat bagi setiap penyelenggara pemilu.

Selain KPU dan jajarannya, partai politik, penyelenggara pemilu lainnya, dan stakeholder lainnya, termasuk pemilih dan warga masyarakat harus memenuhi ketentuan dalam PKPU.

Dibutuhkan kesadaran hukum setiap warga negara untuk menaati peraturan perundang-undangan termasuk PKPU jika kita ingin pemilu dan pemilihan berlangsung tertib, sebagai pelaksanaan kedaulatan rakyat di negara demokrasi Indonesia yang berdasarkan hukum.

Tulisan ini ditulis kembali sesuai konteks perkembangan, dari tulisan asli: “PKPU dalam Hierarki Peraturan Perundang-undangan” yang dipublikasi pada kolom opini www.rumahpemilu.org (12 September 2018).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *