Bitung  

Buruh Nekat Melompat Dari Atas Kapal, Jacobus: Patut Diuji Kebenaran Lewat Hukum Pidana

Direktur MRJ Law Office, Michael Remizaldy Jacobus SH MH. (foto: istimewa)

Editor/Pewarta: Alfondswodi

BITUNG (Gawai.co) – Vitalnya, aksi seorang buruh bagasi Pelabuhan Samudera Bitung, yang nekat melompat saat kapal penumpang sudah berada di laut selat lembeh Kota Bitung. Minggu (25/6/2023).

Hal tersebut, mendapat tanggapan serius dari Direktur MRJ Law Officer, Michael Remizaldy Jacobus SH MH, yang diketahui sebagai salah satu Pengacara potensial dan memiliki segudang prestasi dalam dunia peradilan di Sulawesi Utara bahkan di Nasional.

Menurut, Ketua LBH Majelis Umat Kristen Indonesia (MUKI) Sulut, menjelaskan jika diwaktu itu, nahkoda sudah diberitahukan serta lokasi atau titik lompatan buruh bagasi masih dekat dan memungkinkan untuk dilakukan tindakan penyelamatan maka itu merupakan tindakan yang tidak melawan hukum.

“Akan tetapi disaat itu, diduga nahkoda abai dalam menggerakkan Anak Buah Kapal (ABK), maka itu masuk dalam kategori kelalaian yang patut untuk diuji lewat hukum pidana, jika ada korban yang meninggal dunia, sebagaimana diatur dalam KUHPIDANA Pasal 359,” kata Jacobus. Jumat (23/6/2023).

Selain itu, kata Kandidat Doktor Universitas Trisaksi Jakarta ini, merujuk pada Pasal 342 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wet Boek Van Kopenhandel Voor Indonesiche), menyebutkan: Nakhoda wajib bertindak dengan kepandaian, ketelitian dan dengan *kebijaksanaan* yang cukup untuk melaksanakan tugasnya dengan baik. Ia bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan olehnya pada orang lain karena kesengajaannya atau kesalahannya yang besar.

“Pemaknaan bijaksana termasuk tanggungjawab dirinya untuk menghentikan kapal apabila ada penumpang atau buruh yang melompat ke air. Lepas dari melompat adalah keputusan pribadi, akan tetapi inisiatif untuk mengupayakan keselamatan nyawa adalah langkah yang paling bijak,” kata Jacobus.

Bahkan menurut Jacobus, misalnya dengan menyalamatkan atau dengan meminta bantuan TIM SAR dan lain-lain, merupakan bentuk kepedulian dan rasa tanggung jawab kita sebagai umat manusia.

“Membiarkan orang yang bisa diselamatkan dengan segala upaya yang bisa dilakukan, namun tidak melakukan apa2 sekalipun dia (Nahkoda.red) tahu hal itu harus dia lakukan, maka itu bentuk kelalaian. Sebagaimana diatur dalam Pasal 359 KUHPidana, memidana orang karena kelalaiannya menyebabkan orang meninggal,” katanya.

Pertanyaannya, apakah Nahkoda punya tanggungjawab untuk menyelamatkan orang itu jika benar2 ia ketahui dan masih bisa ambil tindakan untuk menolong?

“Merujuk pada Pasal 342 KUHDagang tersebut, maka terdapat sejumlah padangan, antara lain; 1). Posisi Nahkoda adalah penanggungjawab atas apapun yang akan dan harus dilakukan kapal dan awak kapal: 2). Dalam hal Nahkoda ketahui ada yang melompat saat jarak kapal masih memungkinkan untuk menolong, maka seharusnya Nahkoda punya tanggunggjawab hukum untuk menggerakan semua “pasukannya” atau ABKnya untuk melakukan pertolongan dan yang ke 3), Lalai melakukan pertolongan padahal memungkinkan untuk dilakukan, apalagi saat itu saya lihat masih siang, maka Nahkoda berkewajiban hukum untuk memerintahkan awak kapal untuk mengambil langkah penyelamatan, jika tidak, maka ia Pasal 359 KUHPidana tentang Kelalaian yang menyebabkan kematian, layak untuk diuji secara hukum dalam meminta pertanggungjawaban Nahkoda atas peristiwa dimaksud,” pungkasnya. (*/ayw)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *