Opini  

Reproduksi Kebahagiaan

Oleh : Hamsah

TONDANO (Gawai.co) – Dalam keseharian kita senantiasa selalu terjebak pada kata bahagia. “Saya ingin bahagia, saya ingin membahagiakan pasangan saya, saya ingin membahagiakan teman-teman saya, saya ingin membahagiakan orang tua saya, dan ingin membahagiakan yang lain-lainnya, termasuk ketika kita melihat teman menikah, kita akan selalu mengucapkan semoga berbahagia.”

Pertanyaannya, apakah dengan melihat mereka bahagia kita akan bahagia? Apakah orang yang ingin kita bahagiakan memiliki parameter yang sama dengan kita yang membahagiakan? Inilah pertanyaan mendasar mengapa kita harus mereproduksi kembali arti kebahagiaan itu sendiri.

Sebagian kita memahami kebahagiaan itu identik dengan sebuah kesenangan, namun tidak semua kesenangan adalah kebahagiaan. Bagaimana memahaminya? Tentu sangat sederhana.

Sebutlah dalam dompet ada kartu kredit, bisa dipakai untuk bersenang-senang, bisa membeli keperluan apa saja tanpa berfikir kita memiliki uang atau tidak.

Namun dengan fasilitas itu tentu membuat diri kita tidak bahagia karena kita masih terbayang bahwa itu harus diganti pada ruang dan waktu berbeda.

Generasi milenial dengan gadget, media sosial, game dan lainnya memberikan ruang senggang kepada mereka menikmati kebahagian versi mereka sendiri.

Namun sejatinya mereka telahmengikatkan diri secara emosi dengan yang mereka anggap dengan variabel kebahagiaan. Generasi millenial merasa tanpa gadget, bermedia sosial, game maka ada distorsi kebahagiaan bagi mereka.

Bagi mahasiswa dengan kewajibannya belajar, kuliah, mengerjakan tugas, mengejar nilai tinggi, lulus cepat, mendapat pekerjaan, menikah, punya anak dan seterusnya. Bagi dosen, pengalaman menjadi mahasiswa tentu sudah dilewati.

Namun selanjutnya mereka berkewajiban mengajar, meneliti, melakukan pengabdian secara kontinu sampai batas waktu masa kerja. Di balik melaksanakan kewajiban, ada tuntutan emosi yang harus dilawan dan diolah.

Mahasiswa ingin kuliah santai namun menginginkan IPK tinggi. Dosen ingin angka kredit tinggi namun minim dengan karya.

Apakah kita akan merasakan kebahagiaan dengan pertautan emosi dengan keadaan yang sebenarnya? Di sinilah saya maksudkan bahwa penting mereproduksi dan memahami kembali arti kebahagian.

Dalam kegelisahan ini, saya ingin meminjam pandangan filsafat stoa untuk mengurai kebahagiaan.

Filsafat stoa menawarkan kebahagiaan dengan yang tidak lazim dipahami oleh sebagian dari kita. Kebahagiaan bagi Stoa adalah Ataraxia dalam bahasa Yunani yang akar katanya dari Ataraktos (a : not, dan tarassein: to trouble).

Ataraxia berarti not trouble. Kebahagiaan adalah keadaan jiwa yang tenang dan damai. Hal itu digambarkan oleh stoa sebagai situasi yang negatif, yaitu tidak ada gangguan, atau bahasa sederhananya, bahagia adalah disaat kita tidak terganggu.

Istilah lain, bahagia adalah apatheia, kata Yunani a: not, pathos: suffering. Karenanya, Apatheia disaat kita dalam situasi free from emotions, free from suffernings, freedom form all passions.

Bagi filsafat stoa, kebahagiaan adalah bersifat negatif logis. yaitu tiadanya penderitaan, tiadanya emosi, tidak adanya gangguan nafsu-nafsu seperti nafsu untuk kecewa, marah, rasa iri, rasa baper, hehe dan nafsu-nafsu lainnya.

Lantas pertanyaannya kapan bisa kita mendapatkan kebahagiaan, toh dalam pikiran kita ternyata tidak memaknai kebahagiaan secara tidak lazim.

Pandangan Stoa, bahagia itu sederhananya adalah disaat kita terbebas dari emosi atau segala rasa perasaan yang mengganggu.

Punya kekasih atau pasangan hidup lazimnya pasti bahagia, tetapi jika kita masih khawatir dengan rasa akan kehilangan, cemburu, berarti tentu bukan bahagia.

Bagi Stoa bahagia itu adalah bebas dari emosi yang negatif atau hasrat yang eksesif. Misalnya menghendaki hal-hal diluar kemampuan.

Karenanya, bahagia harus kita sederhanakan. Jangan dikira bahwa kelekatan pada kesenangan serba nikmat membawa kebahagiaan.

Tentu tidak demikian!. Orang yang selalu mencari kesenangan dalam hidupnya, selalu ingin bersenang-senang berarti ia lah yang merana dalam menikmati waktu luangnya.

Sebutlah misalnya, ada orang bahagia ketika berbelanja, liburan keluar kota, Keluar negeri atau melihat pantai.

Pertanyaannya, disaat mereka tidak lagi menikmati itu, apakah mereka bahagia? semoga tidak merana.

Sebagai kesimpulan, kebahagiaan tidak serumit dengan apa yang diasumsikan, tidak seberat untuk dikejar dan ditemukan. Namun justru lebih sederhana dari itu, kebahagiaan cukup dengan kemampuan mengelola emosi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *