Tanggapan Mahasiswa Terkait Kebijakan Bebas Skripsi

Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim. (Foto: Ist)

Editor/Pewarta: Maher Kambey

MANADO (Gawai.co) – Kebijakan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, (Kemendikbudristek) soal mahasiswa S1 dan D4 yang tidak perlu melakukan ujian skripsi, mengundang perbincangan hangat di kalangan mahasiswa.

Peraturan ini tercantum dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 53 Tahun 2023, tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.

Hal ini pun mendapat respon beragam dari para mahasiswa dan perguruan tinggi di tanah air disebabkan kebijakan tersebut mengundang pro dan kontra dari kalangan dosen dan mahasiswa itu sendiri.

Disetujui mahasiswa

“Menurut saya kebijakan ini sifatnya baik, kemendikbudristek bermaksud memberi ruang kepada mahasiswa untuk menunjukkan kemampuan lebih selain skripsi, seperti ada proyek/prototipe yang bisa menjadi syarat kelulusan,” kata Anisa Kusuma, mahasiswi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sam Ratulangi, (FEB Unsrat) Manado.

Dirinya mengaku mendukung kebijakan tersebut, karena menurut dia zaman sekarang penilaian terhadap mahasiswa tidak didasarkan hanya dari skripsi/penelitian, karena semua orang memiliki skill tertentu yang bisa membuatnya bertahan lebih lama dalam karir.

Hal serupa juga dikatakan Velis Sumarauw, mahasiswi FEB Unsrat. Menurutnya kebijakan ini bersifat sangat baik bagi mahasiswa.

“Pertama, mahasiswa tidak perlu mengerjakan skripsi yang kadang harus direvisi berulang kali oleh dosen dan tidak perlu repot mencari tanda tangan dari dosen bersangkutan dimana hal ini bisa menghambat kelulusan,” sampainya, Jumat (1/9/2023).

“Kedua, bentuk tugas akhir lewat prototipe atau proyek ini lebih mengembangkan kreatifitas mahasiswa dalam hal menemukan masalah, memecahkan masalah dan yang terakhir bereksperimen untuk menghasilkan sebuah produk yang nyata. Hal ini pasti lebih inovatif dan menarik dibandingkan dengan duduk berjam-jam hanya untuk membaca jurnal,” tutur Velis.

Senada dengan itu, Elsa Kumolontang, mahasiswi Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi Universitas Negeri Manado, (FIPP Unima) berujar bahwa dengan keluarnya kebijakan ini sontak mengundang persetujuan banyak mahasiswa.

“Jika dilihat dari situasi sekarang, ada banyak sekali yang menyetujui kebijakan ini, pun media sosial seperti di TikTok juga sedang ramai memperbincangkan masalah ini,” ungkap Elsa.

Elsa menyebutkan kebijakan yang akan diterapkan ini tetap bergantung di masing-masing universitas terkait tugas atau hal yang harus dipenuhi mahasiswa sebagai pengganti skripsi.

Velis sendiri meyakini dengan dikeluarkannya kebijakan ini oleh Kemendikburistek bertujuan memberi kelonggaran kepada mahasiswa akhir untuk lebih mudah menyelesaikan studi di perguruan tinggi.

“Hal ini bisa mengubah segala sesuatu yang berbau wajib menjadi tidak wajib atau tugas akhir bisa dibuat dalam bentuk prototipe, proyek, dan lain sebagainya, tidak harus dengan skripsi,” katanya.

Berdampak bagi universitas dan mahasiswa

Saat ditanya terkait dampak bagi universitas yang memberlakukan kebijakan tersebut, Anisa berpendapat, dampak yang ditimbulkan bisa bervariasi tergantung pada motivasi dan komitmen masing-masing mahasiswa.

“Jadi untuk dampaknya relatif, tergantung bagaimana kesadaran para mahasiswa/i Indonesia untuk terus membuktikan kualitas diri tanpa harus melalui skripsi,” papar Anisa.

“Tidak wajib skripsi dapat memberi fleksibilitas kepada mahasiswa untuk menjalani pengalaman belajar yang lebih beragam dan relevan dengan minat mereka, sebut Anisa.

“Namun, tentu saja ada hal negatif dimana bisa membuat sebagian mahasiswa kurang fokus serta kurang menghargai pentingnya menyelesaikan tugas akhir,” tambahnya.

“Skripsi merupakan syarat untuk mahasiswa bisa lulus dan meraih gelar sarjana, ini juga merupakan sebuah penelitian yang bisa dilakukan. Di sisi lain kebijakan bebas skripsi bisa memberi dampak besar bagi pola pikir mahasiswa dan metode universitas dalam menjalankan tugasnya,” jelas Elsa.

“Namun Kemendikburistek dalam hal ini memberikan kebebasan kepada masing-masing perguruan tinggi untuk menentukan sendiri pilihan mereka apakah menerima kebijakan yang dikeluarkan atau tidak,” imbuh Elsa.

Velis memaparkan, bagi perguruan tinggi yang semulanya tidak menerapkan kebijakan ini dan nanti akan menerapkannya pasti akan merombak kembali sistem dan peraturan yang sudah ada.

Dimana hal ini memerlukan proses yang tidak singkat dan tidak mudah bagi pihak perguruan tinggi.

“Untuk para mahasiswa akhir, saya yakin hal ini sangat dinantikan karena akan berdampak besar bagi pencapaian dan pengintegrasian kompetensi akhir. Mereka akan lebih senang karena penyelesaian studi dalam memperoleh gelar Sarjana, lebih dipermudah,” tutup Velis. (Mhr)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *