Harga Terus Naik, Data Luas Panen dan Produksi ‘Barito’ di Sitaro Mengkhawatirkan

Salah satu lahan tanaman cabe yang ada di Pulau Tagulandang

Editor / Pewarta : Frans Kasumbala

SITARO (Gawai.co) – Sesuai data, kenaikan harga bumbu dapur di Kepulauan Siau Tagulandang Biaro (Sitaro), dikarenakan masyarakatnya tidak gemar menanam.

Hal ini mengacu pada data dari Dinas Pangan dan Pertanian Kabupaten Kepulauan Sitaro.

Dimana, data luas panen dan produksi cabe rawit, tomat dan bawang merah atau kerap disiebut Barito sangat kurang.

Untuk luas panen empat tahun terkahir khusus cabe rawait pada tahun 2019 hanya 19 ha, dengan jumlah produksi 306 kwintal.

Untuk tahun 2020 terdapat luasa panen naik 20 ha, dengan namun jumlah produksi turun 251 kwintal dan di 2021 naik signifikan untuk luas panen 83,1 ha dan namun jumlah produksi justru turun lagi 118,1 kwintal.

Sementara tahun 2022 turun lagi 44,4 ha saja dan jumlah produksi hanya 81,1 kwintal.

Sedangkan, untuk tanaman tomat luas panen pada tahun 2019 ditemukan 4 ha saja dengan nilai produksi 17 kwintal, di tahun 2020 naik 6 ha dengan jumlah produksi 58 kwintal.

Dan di tahun 2021 turun lagi 5,5 ha dengan jumlaj produksi 20,8 kwintal, kemudian di tahun 2022 turun lagi 0,1 ha, dengan jumlah produksi 10 kwintal saja.

Data yang mengkhawatirkan untuk tanaman bawang merah luas panen hanya pernah ada pada tahun 2020 selama empat tahun terakhir, dengan sejumlah 1 ha saja, dan jumlah produksi 4 kwintal saja.

“Ini yang menyebabkan harga jual kita tinggi di pasar tradisional,” kata Richard Sasombo Kepala Dinas Pangan dan Pertanian Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro (Sitaro).

Menurut Sasombo, suplai bumbu dapur dari tiga komoditi utama itu,datang dari luar daerah Sitaro.

“Penjual biasanya beli dari luar daerah, karena stok di Sitaro sangat kecil sekali, sementra permintaan banyak,” sambungya.

Sasombo berharap, masyarakat bisa segera menyadari ketergantungan daerah untuk bumbu dapur, sehingga mau untuk menanam.

Tujuannya jelas, kata Sasombo, Sitaro bisa memenuhi stok kebutuhan, sehingga bisa mengintervensi harga di pasar.

“Setidaknya bisa memenuhi beberpaa persen, dan dipastikan akan ada perubahan harga, karena di daerah biayanya lebih murah dibanding dari luar daerah,” jelas Sasombo.

Melihat data tersebut, Ranice Tapahing warga di Kecamatan Siau Barat Utara berharap masyarakat bisa sadar akan ketidak seimbangan yang terjadi.

“Jika terus bergantung, maka kita hanya bisa di posisi mengikuti harga pasar dan keluhan kita tidak berguna,” menurut ibu dua anak ini.

Sebagai ibu rumah tangga, kata Ranice, biaya untuk bumbu dapur akhir ini mencekik.

“Kerja seminggu hanya untuk beli bumbu dpaur stok tiga hari,” ceritanya.

Ranice, pun bertekad untuk memulainya di pekarangan rumah, meskipun tidak memenuhi kebutuhan semua warga, tapi kebutuhannya terpenuhi.

“Setidaknya bisa membantu keluarga saya untuk memenuhi kebutuhan,” ungkap Ranice sambil menyiram tanaman cabe yang di tanamnya. (Frans)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *