Bitung  

Bertarung Dengan Liarnya Gelombang Laut Demi Keluarga Tercinta, ‘Kisah Seorang Nelayan Ikan Tuna’

Ilustrasi perahu Tuna. (ist)

Editor: Tim Gawai 


BITUNG (Gawai.co) – Masa depan yang baik ataukah kesejahteraan hidup bagi keluarga, kedua hal ini merupakan cermin dan tantangan umum bagi nelayan tradisional di Indonesia khususnya nelayan spesialis ikan Tuna.

 

Salah satu nelayan tradisional, Frangki yang telah menggeluti pekerjaan ini sejak 18 tahun yang lalu hingga sampai saat ini.

 

Frangki yang ditemui oleh wartawan Gawai.co, menceritakan kisah hidup dan pengalamannya sejak dirinya berusia remaja.

 

“Ya kalau dihitung-hitung kurang lebih 18 tahun, dan sampai saat ini masih tetap menekuni pekerjaan ini,” ungkapnya dengan senyuman khas seorang petarung samudra saat diwawancarai, Senin (15/03).

 

Profesi yang ditekuni Ayah dari tiga orang anak ini, bisa dikatakan sangat berisiko dan ekstrem.

 

Hanya dengan alat yang sederhana dan ditambah dengan alat komunikasi dirinya berserta keempat rekannya bertarung dengan derasnya gelombang hingga berminggu-minggu bahkan sampai sebulan baru bisa balik kerumah dan berkumpul bersama dengan keluarga.

 

“Biasanya hanya seminggu dilaut akan tetapi terkadang  bisa sampai dua bahkan empat minggu baru bisa kembali,” ungkapnya saat ditemui disela-sela perjalanan menggunakan transportasi laut dari terminal laut Pulau Lembeh di kompleks ruko Pateten, di wilayah Kecamatan Aertembaga menuju dermaga penumpang Kelurahan Papusungan, di Pulau Lembeh.

 

Tantangan ini, mau tak mau harus dijalaninya demi menghidupi akan kebutuhan keluarganya.

 

Namun semenjak mendapatkan informasi peringatan cuaca buruk oleh BMKG, dirinya bersama sejumlah nelayan yang lainnya tak dapat melaut sejak Januari 2021 yang lalu.

 

“Saya berharap dan selalu berdoa agar supaya cuaca ekstrem yang terus melanda saat ini, segera berakhir dan bisa kembali beraktivitas seperti semula,” ujarnya.

 

Disaat pandemi Covid-19, kebutuhan rumah tangga kian terus meningkat dan sumber mata pencaharian sedikit tersendat tak dapat menghalangi Frangki untuk terus berjuang.

 

Dengan berbekal kemampuan serta tuntutan perekonomian keluarga yang kian mendesak, sehingga beberapa bulan ini Frangki harus bekerja serabutan.

 

“Terkadang menjadi buruh bangunan, karena hasil pertanian kelapa tak bisa setiap bulan (‘Kebun Kelapa’ warisan keluarga Frangki.red) disaat tak dapat melaut,” kembali dikalimatkan Frangki.

 

Menurutnya, hasil dari perikanan sangat menjanjikan bahkan bisa melebihi dari pendapatan ketika dirinya bekerja sebagai buruh bangunan.

 

“Hasil perikanan cukup menjanjikan bahkan bisa lebih. Tergantung dari berapa banyak hasil tangkapan yang didapat namun biasanya dari pengalaman saya setiap minggunya paling kurang kami bisa kembali dengan membawa hasil tangkapan sebesar 100 kilogram berat dari ikan tuna,” ujar Frangki dengan nada yang sedih merendah.

 

Frangki berharap semoga situasi alam dan Pandemi Covid-19 yang melanda negara Indonesia bahkan terlebih khusus kota Bitung untuk segera berakhir.

 

Sementara itu diketahui, harga perkilo dari Ikan Tuna untuk grade standarnya berkisaran Rp 20.000/kilo sedangkan untuk grade medium berkisar Rp 50.000/kilo.

(Tim Gawai)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *