Editor : Martsindy Rasuh
SANGIHE (Gawai.co) — Power Wheeling saat ini menjadi sorotan tajam dalam perdebatan kebijakan energi Indonesia di Sangihe.
Skema yang telah lama dikenal dalam struktur liberalisasi pasar ketenagalistrikan yang menciptakan mekanisme Multi Buyer Multi Seller (MBMS) ini, memungkinkan pihak swasta dan negara menjual energi listrik di pasar terbuka atau langsung ke konsumen.
Menurut Ketua Umum Serikat Pekerja (SP) PLN, M. Abrar Ali, power wheeling terdiri dari dua jenis transaksi, yakni Wholesale Wheeling dan Retail Wheeling Wholesale Wheeling itu, terjadi ketika pembangkit listrik (baik milik swasta maupun negara) menjual energi listrik dalam jumlah besar ke perusahaan listrik atau konsumen di luar wilayah usahanya.
Sementara Retail Wheeling memungkinkan pembangkit listrik menjual energi listrik langsung ke konsumen akhir di luar wilayah operasinya.
“Kedua model ini menggunakan jaringan transmisi dan distribusi sebagai “jalan tol” dengan skema open access. Semua pembangkit listrik dapat menggunakannya dengan membayar “Toll Fee”. Namun, ia menegaskan penerapan power wheeling dapat menimbulkan dampak negatif yang signifikan, baik dari segi keuangan, hukum, teknis, maupun ketahanan energi.
“Power wheeling adalah benalu dalam transisi energi kita. Penerapan skema ini berpotensi menimbulkan kerugian besar bagi ekonomi negara dan ketahanan energi nasional. Kebijakan ini harus segera ditinjau ulang agar dampak negatif yang dapat timbul dapat diminimalisir,” tegas Abrar.
Namun demikian, Abrar memastikan bahwa SP PLN akan mengedepankan langkah diplomasi, dengan membangun komunikasi dengan pihak-pihak terkait, antara lain melalui DPD dan DPR RI, hingga tim transisi pemerintahan untuk mengkomunikasikan mengenai penolakan skema power wheeling dan berbagai macam bahayanya.
“Kami menyampaikan surat ke fraksi-fraksi di DPR-RI, dan khusus kepada Ketua DPD-RI Bapak La Nyala Mataliti, karena beliau punya hak konstitusi. Selain itu, surat ke Ditjen EBTKE kita sampaikan termasuk juga ke Istana. Bahkan, saya akan menyampaikan surat ke Menteri Pertahanan, cq Presiden Indonesia terpillih,” kata dia.
Abrar Ali menegaskan pemerintah perlu menilai kembali kebijakan power wheeling untuk menghindari kerugian ekonomi jangka panjang dan memastikan stabilitas sektor energi nasional.
Dimana power wheeling ini dapat menggerus permintaan listrik organik hingga 30% dan permintaan non-organik dari pelanggan Konsumen Tegangan Tinggi (KTT) hingga 50%. Hal ini akan berujung pada lonjakan beban APBN karena biaya akan ditanggung negara.
“Setiap 1 GW pembangkit listrik yang masuk melalui skema power wheeling diperkirakan akan menambah beban biaya sebanyak Rp 3,44 triliun (biaya ToP + Backup cost), yang akan semakin memberatkan keuangan negara. Bahkan, dampak akumulatif hingga 2030 diperkirakan akan meningkatkan beban Take or Pay (ToP) dari Rp 317 triliun menjadi Rp 429 triliun, atau terjadi kenaikan sebesar Rp 112 triliun,” paparnya.
Sementara dampak hukum yang ditimbulkan oleh power wheeling kontradiksi dengan UU No. 20 Tahun 2022. Di mana program ini merupakan implementasi dari skema MBMS yang melibatkan unbundling.
“Namun, hal ini bertentangan dengan UU No. 20 Tahun 2022 yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2004,” terangnya.
Tidak hanya itu, kata dia, power wheeling juga mereduksi peran negara. Skema ini juga akan menciptakan kompetisi di pasar penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum yang berpotensi mengurangi peran negara dalam menjaga kepentingan umum di sektor ketenagalistrikan.
“Karena Power Wheeling dapat memicu perselisihan terkait harga, losses, frekuensi, dan volume yang dapat berdampak pada terhentinya pasokan listrik (blackout) dan merugikan masyarakat luas,” ujarnya.
Saat ini, menurut Abrar, sistem ketenagalistrikan di Jawa dan Bali telah mengalami oversupply. Sebab, penerapan Power Wheeling berpotensi memperburuk kondisi, terutama karena pembangkit yang menggunakan energi baru terbarukan (EBT) bersifat intermiten dan tidak stabil.
“Power Wheeling yang bersumber dari EBT juga memerlukan spinning reserve tambahan untuk menjaga keandalan sistem, yang justru akan meningkatkan Biaya Pokok Produksi (BPP) dan harga jual listrik kepada konsumen,” cetusnya.
Terkait Ketahanan Energi, lanjut Abrar, ketersediaan akses listrik akan terganggu dengan meningkatnya risiko blackout, sehingga jaminan pasokan listrik yang stabil semakin sulit dicapai.
“Hal ini, dapat menghambat akses terhadap listrik yang andal bagi masyarakat. Penambahan beban akibat skema ToP dan investasi untuk spinning reserve juga akan meningkatkan BPP, yang pada akhirnya membuat harga listrik melonjak dan membebani konsumen serta APBN,” tandasnya. (nal)