Oleh : Rusmin Hasan
Pegiat Literasi Sulawesi Utara
TONDANO (Gawai.co) – Mendengar istilah intelektual kita terkesima, kagum dan takjub. Karena sosok intelektual memiliki kebesaran dan kedalam ilmu pengetahuan. Dari merekalah pribadi yang dihargai. Ia ditempatkan pada posisi yang tinggi dalam relasi stratifikasi sosial masyarakat. Kaum intelektual umumnya hidup dan berhabitat di laboratorium peradaban seperti: universitas, organisasi perjuangan dan lembaga advokasi dan lain sebagainya. Disitulah, orang-orang intelektual berkecimpung, bergelut dan berdialektika dengan kehidupan kritis, ilmiah dan berbasis data sekaligus transformasi gerakan sosial yang membebaskan.
Mereka bagai cahaya yang bersinar, memiliki fakta dan realitas serta kehidupan praktis, baik itu; pendidikan, budaya, ekonomi, politik, hukum dan diluar dikehidupan sosial masyarakat. Suara kebenaran, keadilan, kemanusiaan dan ke-Tuhanan memancarkan keras didenyut nadi mereka. Kaum intelektual menjadi benteng kekuatan moral etik dan transformasi kehidupan sosial dan menjadi juri dan hakim yang absolut terhadap praktik penindasan, ketidakadilan, ketimpangan, kesewenang-wenangan, kediktator, kezhaliman, pemarzinal, pemiskinan dan pembodohan terhadap umat manusia bahkan mereka bagai nabi dan rasul sosial dalam kehidupan post industrial saat ini, dan kemajuan teknologi sekaligus ilmu pengetahuan. Karena itulah, posisi mereka dalam kehidupan sosial dan dalam bangsa dan umat. kerap, sangatlah penting dan dihargai.
Maju dan mundurnya masa depan bangs ini, sebagai tekat untuk hidup bersama bergantung pada fungsi dan peranannya. Namun ngaris, hari ini. peran kaum intelektual telah mengalami kemunduran bahkan sampai mengalami kepunahan (hilang keberadaannya) dalam setiap etapa dinamika sosial hari-hari ini. Lantas Siapa itu kaum intelektual sebenarnya? Ada apanya dengannya sehingga mengalami kepunahan diera post industrial society saat ini?.
Pertanyaan-pertanyaan diatas, sebagai refleksi renungan dan tela’ah kritis sekaligus otokritik yang tajam pada mereka yang dinobatkan sebagai kaum intelektual atau hakim absolut terhadap praktik penindasan, ketidakadilan, ketimpangan, kesewenang-wenangan, kediktator, kezhaliman, pemarjinal, pemiskinan dan pembodohan terhadap umat manusia dan praktik otoretarianisme rezim hari ini, untuk merekonstruksi revolusi paradigmatik pada dirinya, komunitasnya bahkan organisasi perjuangannya sekaligus sebagai rerorientasi untuk merevolusi dirinya sebagai reformer agent (Agen pembaharu) bagi umat dan bangsa ditengah menguatnya era post industrial society saat ini, yang menjadi momok baru yang menakutkan dan telah mematikan nalar kritis kaum intelektual hari-hari ini.
Siapa kaum intelektual sebenarnya?
Defenisi kaum intelektual sangatlah begitu beragama dan universal. Namun, kurang lebih kita bisa mengambil syarat-syarat dikatakan kaum intelektual. Lantas siapa itu, yang disebut kaum intelektual itu? Ada identitas etik yang melekat padanya yakni memperjuangan kebenaran, keadilan, rasionalitas dan kesetaraan sesama umat manusia tanpa hegemoni antar manusia dan manusia bahkan alam semesta. Begitulah ungkapan dari Andrew Crier bahwa intelektual itu bagaikan listrik. Muda diukur tapi mustahil untuk didefenisikan.
Hemat saya, ada beberapa defenisi para pemikir, cendekiawan, intelektual terkemuka yang bisa kita jadikan rujukan ilmiah untuk mengetahui secara oetentik syarat mutlak dikatakan intelektual itu. Sebagaimana konsepsi intelektual menurut pemikir italia ia adalah Antonio Gramsi. Menurutnya, kaum intelektual itu, terbaik dua kategori yakni: Intelektual tradisional dan intelektual organik. Siapa itu yang disebut intelektual tradisional.
Kata Gramsi, seorang pemikir Italia terkemuka itu, ia menyebutkan bahwa intelektual tradisional ialah mereka yang bertugas sebagai kepanjangan tangan pemerintah atau elit untuk mengarahkan masyarakat menyepakati ide-ide yang dikehendaki oleh pemerintah. Walaupun ide tersebut, bertentangan dengan kebutuhan subtansi rakyatnya. Sosok intelektual seperti ini, acap kali memanfaatkan basis pengetahuannya untuk mendukung klas penguasaha dan mengabdi padanya.
Alhasil ia menjual idealisme dan independensi etis atau kecenderungan kepada kebenaran untuk kebutuhan personal tanpa mempertimbangan moral etik sebagai reformer agent atau kaum pembaharu sekaligus sebagai benteng etik untuk umat dan bangsa. Kita bisa jumpai, banyak diantara kita yang kategori kaum intelektual tradisional tersebut. Sebut saja; para dosen atau akademisi, guru, staf bupati, walikota, gubernur dan staf presiden, pejabat negara, sebagaian aktivis intelektual yang banyak basis pengetahuannya namun ironisnya mengabdi pada rezim dan memproduksi pemikiran elit untuk misi ekspolitasi rakyatnya dan pengabdi diri sepenuhnya untuk kepentingan induvidu maupun kelembagaan dengan garansinya untuk pangkat, proyek, tunjangan gaji yang mempuni, dan keuntungan materi dan lainnya.
Sedangkan intelektual organik kata gramsi ialah mereka yang dengan kesadaran dan pengetahuannya menngambil langka strategi dan progresif revolusioner yang dimilikinya berupa basis pengetahuan, pengalaman organisasi dan basis masanya untuk melakukan empowermen (pemberdayaan), membangkitkan kesadaran masyarakat mengenai masalah-masalah sosial yang dihadapinya sekaligus membela masyarakat akar rumput untuk melakukan perlawanan atas dominasi, ekspolitasi, kebodohan, keterjajahan dan kesewenangan terhadapnya.
Kelompok intelektual inilah yang komitmen pada panggilan kehanifan (kebenaran) dan membela kepentingan rakyat yang sering menjadi korban hegemoni dan ekspolitasi penguasa atau kaum oligarki. Saya tegaskan bahwa kelompok intelektual organik bukan tipe menarik muka apalagi pengabdi pada penguasa dan juga bukan anti penguasa. Melainkan mereka konsisten mempertahankan prinsip-prinsip ideologi perjuangan dan sikap kritis, moderat, kemanusiaan terhadap berbagai permalahan sosial masyarakat dan kebijakan pemerintah yang tidak lagi pro terhadap rakyat dan melanggar nilai-nilai etik konstitusi bangsa ini.
Sedangkan menurut Ali Syari’ati tugas pokok kaum intelektual ia menyebut dengan istilah Rausyanfikr (Pemikir yang tercerahkan) ia memiliki amanah besar untuk mewujudkan masa depan umat manusia lebih baik dengan menegaskan perjuangan keadilan, kesetaraan, kebenaran dan kemaslahan umat manusia. Baca: (Tugas cendekiawan Muslim ; Ali Syari’ati). Dan ada beberapa defenisi lainnya namun pada tulisan saya akan membatasi pada kedua tokoh ini, karena dari konsepsi mereka kita sudah mengambil benang merah kecenderungan intelektual dan tugas pokoknya seperti apa, bagaimana, dan orientasinya seperti apa?. Dari defenisi diatas, tentuhkan pilihan anda, kamu dan kita semua mau cenderung kepada sosok intelektual seperti apa? Apakah intelektual tradisionalkah, organik, atau pun intelektual pemikir yang tercerahkan (Rausyanfikr) atau bahkan intelektual pragmatis?
Kepunahan kaum intelektual di era post industrial society dan apa saja faktornya?
Transformasi perubahan zaman teruslah berubah mulai dari zaman feodal, klasik, pertengahan, renasains, modern, post modern sampai post humanis dan saat ini disebut sebagai zaman peralihan Era Post Industrial Society. Lantas apa itu era post industrial society?. kata Daniel Bell. Seorang pemikir besar sosiolog Harvard dalam karyanya: “The corning Of Post-Industrial Society” (1973). Bell mengemukakan bahwa masyarakat industrial modern tengah memasuki fase baru evolusi manusia yakni fase era post industrial. Masyarakat post industrial berbeda dengan masyarakat industry klasik. Karena yang disebut belakangan ini adalah masyarakat agraris pra industri.
Bagi Bell, masyarakat post industrial lebih memperhatikan produk jasa dari pada barang Angkatan kerjanya bukan pada pekerja manual dan banyak dari mereka adalah pekerja professional, manajerial dan teknik. Masyarakat post industrial ialah masyarakat sangat terdidik, tentuhnya pengetahuannya adalah sumber utama tapi pengetahuan yang dimaksud ialah pengetahuan khusus. Masyarakat industri berkerja atas pengetahuan praktis, yakni pengetahuan datang setelah melakukan sesuatu, bukan dari riset murni. Tokohnya yang merepretantif era industri ialah seperti penemuan Watt Edison. Sedangkan bagi Bell masyarakat post industrial berdasarkan pada pengetahuan teoritis, pengetahuan yang dikembangkan pada universitas dan Lembaga-lembaga riset dan ilmiah basis datanya. Itulah bedanya dengan zaman sebelumnya. Fase era peralihan ini sekaligus sebagai kritik atas era modern dan industri yang tak bisa menjawab realitas zaman saat ini.
Dari gambarnya tersebut, setelah saya mengikuti sejarah diskursus perkembangan peradaban ilmu pengetahuan dan sains saya menyebut bahwa kita telah mengalami perkembangkan pesat dan begitu massif sehingga para pemikir telah melakukan tinjauan kritik peralihan zaman baru saat ini yang disebut oleh Daniel Bell sebagai era post industrial. Itulah kenapa, saya menyebutkan dalam tulisan kritis ini sebagai kepunahan peradaban umat manusia dan perananya kaum intelektual karena kita dikuasi oleh kekuatan mesin-mesin teknologi yang begitu massif. Lantas apa saja faktor yang melatar belakangi kepunahan kaum intelektual tersebut?
Kurang lebih ada tiga faktor mendasar yang menjadi penyebab utama kepunahan kaum intelektual di era post industrial society saat ini, yakni;
Pertama, memudarnya soal kesadaran paradigma. Kaum intelektual di era post industrial society saat ini, terjebak dalam kesadaran rasio instrumental. Sebuah kesadaran rasio yang hanya mendahulukan kepentingan-kepentingan politis atau elitis bukan pembebasan bagi umat manusia. Alhasilnya, aktivitas subtansi mereka berkisar pada penelitian, pemanfaatan, rekayasa dan ekspolitasi kepentingan ilmu dan pribadi belaka. Meminjam konsepsi dari Paul Freire, kaum intelektual kehilangan kesadaran kritis, kata Ontony Giddens terjebak pada kesadaran praktis dan oleh Gramsi dan Max Horkhoirmer hnaya menjadi intelektual tradisional yang tak memiliki orientasi perjuangan untuk kebenaran, keadilan, kemanusiaan, cinta dan kehidupan sosial masyarakat di eksternal. Itulah, mengapa universitas atau kampus cenderung menjadi menara gading yang tak punya kaitan dengan sosial historis atas nafas kehidupan. Karena pada dasarnya, kampus tidak mengajarkan berpikir kritis, bebas dan memerdekaan.
Kedua, memudarnya resistensi atau kekuatan perlawanan terhadap kegejala pembusukan oleh elit politik dan krisis demoralisasi bangsa. Itulah kenapa, tidak adanya keberanian atau mental juang revolusioner untuk menyuarakan kebanaran dan keadilan dihadapan penguasah yang zhalim dan otoretarianisme.
Ketiga, hegemoni kekuatan oligarki ditengah tumbuhnya demokrasi kita. Tantangan kaum intelektual diera post industrial saat ini, ialah untuk membangun demokrasi subtantif yang tumbuh pada akar rumput baik secara kemandirian politik,ekonomi bahkan sosial budaya ditengah demokrasi dalam bayang-bayang politik oligarki yang sangat menguat dan massif. Apalagi dekade ini, kita akan menghadapi hajatan pesta demokrasi pilkada 2024. Ini tantangan yang sangat krusial untuk menguji resistensi dan mental juang kita bersama.
Ingat, jalan pendakian seorang intelektual ialah jalan keterasiangan. Meski perjuangan jalan ini, penuh resiko. Karena kebebasan dan cita-cita akan keadilan tidak pernah lahir diruang hampa. Ia dihadapkan pada dinamika kehidupan yang tragis. Kita akan dihadapkan pada realitas yang menguji mental juang kita. Ia bukan pemberian, apa yang menunggu didepan mata ialah keterasiangan bahkan dalam hal kematian sekalipun. Seperti kata aktivis 66. Soe Hok Gie; “Orang-orang seperti kita tidak pantas mati ditempat tidur”. Kita harus menapaki Lorong-orong realitas untuk menjemahkannya dan akan sampai pada puncak intelektual bahwanya tugas pokok kita ialah memperjuangkan kebenaran (Kehanifan), keadilan, kesetaraan dan segala persaoalan bumi manusia dan menjaga kewarasan publik. Tanggung jawab itu, tentu tidak mungkin dan mustahil kita harapkan dari masyarakat akar rumput.
Meraka tidak memiliki kapasitas dan basis pengetahuan tentang kemampuan perjuangan revolusioner itu. Tapi saya meyakini mereka akan tetap mendukung perjuangan dan ikut serta dengan kaum intelektual yang tererahkan untuk memperjuangkan nilai-nilai tersebut. Alhasilnya, kita tidak jumpai kaum intelektual hari ini yang getol untuk melakukan resistensi terhadap otoretarisme rezim hari ini ditengah krsis ekonomi, politik, kemanusiaan dan ketahanan pangan nasional sekaligus krisis multidimesi hari-hari ini dan ironinya mereka lebih memilih diam dan ikut arus termakan oleh zaman dalam derita bumi manusia dan segala persoalaannya.
Sikap kejantanan dan militansi juang kaum intelektual, itulah yang langka dimiliki oleh mereka yang berhabitat dikampus. Seperti; Sosok Gagileo, Socrates, Soe Hok Gie, Tan Malaka, Munir, Pramoedya Nanta Toer, Ali Syari’ati, mohchtar lubis dan lainnya adalah teladan terbaik orang-orang mau dan berani menderita demi memperjuangan nilai-nilai kebenaran, keadilan, kesetaraan, kemanusiaan dan menyelamat peradaban umat manusia dan derita bumi manusia dan segala persoalaannya. Salam Tadzim.
“Kesadaran adalah matahari, kesabaran adalah bumi, keberanian menjadi cakrawala dan perjuangan adalah pelaksana kata-kata”. (WS. Rendra). (rus)