Local Wisdom Cap Tikus Ditinjau Dari Perspektif Historis, Sosiologis dan Antropologis

Hizkia Rantung Mahasiswa Unsrat Manado. (Foto: ist)

Editor: Martsindy Rasuh
Penulis: Hizkia Rantung (Mahasiswa Unsrat)

MANADO (Gawai.co) – Cap Tikus merupakan minuman beralkohol produk kearifan lokal (local wisdow) di Provinsi Sulawesi Utara, dalam proses pengolahannya Cap Tikus memiliki ciri tersendiri yang disebut tradisi batifar. Tradisi batifar Cap Tikus sedari dulu sampai saat ini masih digunakan oleh petani.

Cap Tikus sudah sangat familiar di kalangan masyarakat, bahkan menjadi sumber mata pencaharian petani Cap Tikus.

Secara historis, Cap Tikus adalah minuman beralkohol tradisional Minahasa dari hasil fermentasi dan distilasi air bira dari Pohon Aren/Enau (Pinnata). Minuman ini sudah dikenal sejak lama oleh masyarakat Minahasa, dan umumnya dikonsumsi oleh para bangsawan atau oleh masyarakat umum dalam acara adat.

Minuman beralkohol tradisional Minahasa ini pada mulanya bernama sopi. Namun, sebutan sopi berubah menjadi Cap Tikus ketika orang Minahasa yang mengikuti pendidikan militer untuk menghadapi Perang Jawa, sebelum tahun 1829, menemukan sopi dalam botol-botol biru dengan gambar ekor tikus.

Sangat disayangkan sedari dulu Cap Tikus diwarisi, menuai stigma negatif oleh masyarakat yang kurang memahami sejarah dan nilai filosofis minuman tradisional ini.

Cap Tikus menjadi sumber mata pencaharian masyarakat Sulawesi Utara khususnya Tou Minahasa. Captikus lazim diminum bagi para petani sebelum pergi berkebun, yang berfungsi untuk menghangatkan badan.

Tidak sedikit masyarakat Minahasa yang telah berhasil membawa putra dan putri mereka sukses dalam pendidikan hanya dengan hasil dari olahan minuman tradisional Cap Tikus sebagai salah satu penunjang ekonomi terbesar di Sulawesi Utara.

Namun, kendala yang dihadapi sebagian besar petani Cap Tikus ini adalah dengan adanya proses penyitaan bahkan pemusnahan besar-besaran, bahkan bermunculan stigma negatif tentang Cap Tikus.

Dengan timbulnya stigma negatif terhadap Cap Tikus, tidak mengurangi akan eksistensi dari minuman tradisional ini, bahkan Cap Tikus menjadi minuman primadona bagi masyarakat Sulawesi Utara.

Hal ini dilihat dari konsumsi Cap Tikus bagi masyarakat Sulawesi Utara di setiap kesempatan baik itu acara pernikahan, ucapan syukur, kedukaan dan lain sebagainya.

Cap Tikus menyelamatkan masyarakat Sulawesi utara khususnya Tou Minahasa dari ketergantungan candu narkoba. Karena orang Minahasa sangat mencintai minuman Cap Tikus, maka tidak tertarik lagi dengan narkoba.

Dalam kehidupan masyarakat Minahasa Cap Tikus memberikan nilai kebersamaan dalam keberagaman. Akan tetapi sampai saat ini Cap Tikus dianggap kriminal oleh beberapa kalangan yang mencoba merasionalisasikan minuman ini dari perspektif atau pandangan kaca mata yang sangat sempit, yaitu dari apa yang mereka saksikan di lingkungannya sendiri.

Stigma buruk terhadap Cap Tikus membuat pemerintah lalai untuk mengeluarkan kebijakan tentang legalitas Cap Tikus sebagai kearifan lokal yang pada dasarnya tertuang Perpres nomor 10 tahun 2021 pasal 3 ayat (1) huruf C.

Jika kita menelisik dari perspektif antropologis, minuman tradisional ini sudah melekat pada masyarakat Sulawesi Utara. Pada zaman dahulu minuman ini dikonsumsi oleh para kaum pribumi.

Dalam tradisi masyarakat Minahasa dalam acara naik rumah baru, tuan rumah harus memberikan minuman Cap Tikus kepada tua-tua adat, atau dikenal dengan “tuasan e sopi e maka wale”.

Cap Tikus tak sekedar jadi minuman tradisional, Cap Tikus ikut digunakan dalam tradisi ritual, dan itu termasuk kekayaan tradisi budaya Minahasa.

Berangkat dari perspektif di atas, maka sudah sepatutnya dan sewajarnya pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk melegalkan Cap Tikus sebagai kearifan lokal di Sulawesi Utara yang harus dilestarikan, bukan dikambing hitamkan atau dimatikan. Cap Tikus harus dilestarikan, karena ini bentuk warisan budaya yang diwarisi secara turun-temurun. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *