Opini  

Peran Kepemimpinan Profetik Muhamadiyah Ditengah Arus Politik Nasional

Fiki Gumeleng. (Foto: ist)

Oleh: Fiki Gumeleng

TONDANO (Gawai.co) – Peran kepemimpinan profetik yang digagas Kiai Dahlan yang diijabah di doakan pula agar warga persyarikatan menjadi sebaik-baik umat, yang mengajak berbuat bajik dan meminimalisir kemungkaran.

Meski mengambil sikap koperatif, tidak membuat Muhammadiyah kehilangan daya kritis tetap menyatakan amar ma’ruf nahi munkar dalam satu kemasan autentik. Dalam sejarahnya: tidak pernah menjilat kekuasaan meski bukan oposisi. Tetap tegas ditengah, membawa bendera wasatihyah, Muhammadiyah adalah jangkar NKRI yang sesungguhnya.
Posisi ini amat krusial dan urgen meski kerap ditinggal setelah momentum usai. Tegasnya Muhammadiyah kerap tidak menikmati hasil perjuangannya KH. Abdurahman Wahid menyebutnya “suratan takdir”. Pada saat menjelang jatuhnya orde lama di mana Soekarno membangun poros : nasionalis-agama dan komunis yang kemudian lazim disebut nasakom, Muhammadiyah justru mengambil jarak tegas “Tidak masuk koalisi dan rela berada di luar garis, meski banyak mengandung resiko”.

Pun pada saat kejatuhan orde baru, Beberapa tokoh dan ulamanya di bui (Penjara) dan sebagian lagi di bungkam atau di marginalisasi oleh orde baru. Bahkan kemudian ada isu Muhammadiyah akan dibubarkan karena dianggap keras kepala alias kepala batu sebab berkongsi kepada Masyumi. Keberpihakan terhadap substansi pergerakan adalah pilihan tepat di saat negara oleng kehilangan haluan. Daya kritis ini seakan muadzin yang menyeru apakah haluan negara oleng ke kanan atau terlalu ke kiri.

Dialektik Muhammadiyah sebagaimana disebutkan Gus Dur seakan menjadi suratan taqdir Pada awalnya di salahkan dibully kemudian dibenarkan dan dikuti rame rame oleh khoiru ummah “ummat” adalah penanda bahwa Muhammadiyah bagian kesatuan gerak dialektis yang harmonis, tidak ambigu dalam bergantung situasi atau bargaining posisi yang kerap dijadikan rujukan sebagian besar ormas. Keberpihakan Muhammadiyah bukan kepada penguasa tapi lebih kepada tujuan universal yaitu kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat. Desain inilah yang di idealkan oleh kyai Dahlan dengan simbol gerakan profetik. Cara berpolitik Muhammadiyah bukan kepada kekuasaan, namun pengabdian penuh seluruh yang di wujudkan dalam bentuk amal saleh bukan kekuasaan.

Politik profetik mengikuti sahabat Nabi : Istiqomah seperti sayidina Abu Bakar as Sidiq, inovatif seperti sayidina Umar, filantropi lazimnya Sayidina Ustman, cerdas dan zuhud seperti sayidina Ali. Muhammadiyah adalah Episentrum pembaruan terkadang berhadapan dengan kehendak kekuatan penguasa, pada saat yang lain berhadapan dengan tradisi dan budaya rakyat yang dinamis serta nomaden. Peran profetik ini memang berat sebab selalu lewat jalan terjal dan tidak selalu populis tapi disitulah letak magisnya.

Rezim sekarang sedang mengalami anomali politik akut. Kehilangan inovasi dan jalan ditempat. Politik umat Islam juga jalan di tempat. Demokrasi kita mati, kehilangan spirit. Semua jalan ditempat. Para politisi hanya berputar-putar di tempat. Tidak ada perubahan signifikan bahkan oligarki makin menguat–kondisi ini tak baik untuk demokrasi. Muhammadiyah tidak menjadikan rezim untuk mendapatkan jabatan apalagi kekuasaan dan tidak menjadikan massa rakyat untuk merubuhkan rezim karena beda kepentingan— inilah model politik profetik yang tidak saja menggerakkan tapi memberi maslahat bagi kebangsaan dan keumatan.

Posisi ini di ambil semata menjaga agar setiap perjuangan selalu mengandung unsur profetik atau kerisalahan. Setidaknya mematahkan teori Mietzner tentang ideologi, kekuasaan dan uang yang dii praktikkan para pengasong kekuasaan. Buya syafii maarif menyebutnya sebagai “muhammadiyah mengambil jalan Politik peradaban”. Pada kondisi begini dibutuhkan penjelasan utuh yang komprehensif tentang persoalan bangsa dan keumatan tentang idelogi negara yang terus di soal, Tentang ekonomi yang terpuruk, Tentang demokrasi yang kehilangan bentuk Tentang kepribadian bangsa yang tercerabut Hingga harga-harga kebutuhan pokok yang terus membunuh masyarakat akar rumput. Namun Muhammadiyah mengambil poros beda–tidak semua organisasi mampu lakukan ini Porosnya Tajdid “Visi Pembaharuan” dan Tidak lagi mempersebabkan alasan-alasan Yang urgent, sebab dalam muhammadiyah Selalu dikedepankan Kepentingan bersama ketimbang mudharat.

Pada kesimpulannya Muhammadiyah dan kepemimpinan profetiknya Ingin menjawab satu pertanyaan besar kenapa muhammadiyah tidak selalu ikut dengan alam pikiran kekuasaan ? Muhammadiyah Memiliki Spirit islam yang kuat, pula Pengetahuan sebagai legacy yang komprehensif didalam menata ruang di tengah arus politik dan Demokrasi yang akut. Muhammadiyah lebih memilih tegak lurus sebagai prinsip Wasathiyah yang diemban tanpa memilih kekiri dan kekanan. Muhammadiyah lebih Kedepankan moral Ideologi negara untuk berbuat kepada khoiruh ummah (Umat) ketimbang Bersetubuh dengan kekuasaan, pula muhammadiyah sampai hari ini tanpa dengan kekuasaan tetap melakukan kontribusi terhadap negara. (rus)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *