Sekolah Adat Kumatau Gelar Ziarah Kultural, Tanam Pohon dan Diskusi Budaya
Editor: Tim Gawai
TONDANO (Gawai.co) – Dalam rangka memperingati Hari Internasional Masyarakat Adat se-Dunia yang akan jatuh pada tanggal 9 Agustus mendatang, puluhan pemuda yang terhimpun dalam Sekolah Adat Kumatau menggelar sejumlah kegiatan. Mulai dari ziarah kultural, menanam pohon dan diskusi budaya.
Kegiatan bersama Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) itu digelar di komunitas adat Tontemboan Pakewa, Jumat (8/8).
Sasaran pertama para pemuda adat Minahasa itu adalah waruga yang terletak di Wanua Walantakan. Dari pantauan, kondisi waruga itu sangat memprihatikan.
Itu karena letaknya yang berada tepat di dapur warga setempat. Tak hanya itu, tak banyak juga yang tau tentang asal-muasal rumah jiwa leluhur Minahasa itu.
“Orang bilang kata ini waruga Rewah. Tapi disitu ada juga yang tulis Rondonuwu,” ucap warga setempat.
Ia berkisah, di satu masa waruga ini sebenarnya ada dua, namun telah dipindahkan dan ditumpuk dengan waruga yang ada di posisi sekarang.
“Dulu dorang bilang sebenarnya ada dua. Cuman ada masyarakat yang se pindah kong se tumpuk. Tapi dorang nda beking ritual, cuma angka begitu,” ceritanya.
Usai melakukan penghormatan kepada leluhur. Para pemuda adat Minahasa itu beranjak. Kali ini wilayah Kelelondey yang dituju.
Sepintas, Kelelondey terlihat hanya sebagai hamparan lahan pertanian yang luas. Namun, dalam kosmologi Minahasa, tanah adalah salah satu situs tua di Minahasa.
Hal inilah yang membuat para pegiat budaya Minahasa itu datang ke wilayah Kelelondey. Selain itu, kondisi Kelelondey yang saat ini tengah dilanda konflik antara Masyarakat Adat Tontemboan Pakewa dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) semakin memicu semangat para kaum muda yang haus akan informasi tentang Minahasa.
Penghormatan kepada leluhur pun kembali dilakukan. Itu ditandai dengan penanaman pohon di wilayah yang menjadi salah satu pemasok hortikultura terbesar di Sulawesi Utara (Sulut), bahkan di wilayah Indonesia Timur.
Usai berziarah di Kelelondey yang dilanjutkan dengan penanaman pohon, mereka kembali beranjak. Kali ini markas komunitas Solidaritas Kelelondey Memanggil yang jadi sasaran akhir.
Di tempat itu mereka berdiskusi tentang bagaimana peran orang muda Minahasa dalam merawat dan memperjuangkan haknya.
Budayawan Minahasa, Rikson Karundeng dalam kesempatan itu, ia mengambil peran Opo Kopero dan Muntu-Untu sebagai teladan dalam pergerakan.
“Di satu masa, kebijaksanaan kedua leluhur ini bisa menjadi teladan bagi kita semua yang hari ini sementara berupaya menyelamatkan hak-hak kita. Apalagi ini adalah warisan leluhur kita yang harus kita jaga, agar bisa dinikmati oleh generasi selanjutnya,” katanya.
Meski begitu, menurutnya, salah satu upaya dalam berjuang adalah dengan tetap menghargai petunjuk tetua.
“Ini hal penting yang harus torang ingat. Selalu berkomunikasi dan menghargai orang yang lebih tua dalam garis perjuangan. Ini nilai yang diwariskan para leluhur untuk kita semua,” tandasnya. (Tim Gawai)