Editor: Martsindy Rasuh
Penulis: Anita S. Tampi, (Kasubag Hukum dan SDM KPU Kabupaten Kepulauan Sitaro)
MANADO (Gawai.co) – Pemilihan tahun 2020 telah lewat, meninggalkan jejak historis demokrasi elektoral di Indonesia dengan dinamika tersendiri dan menjadi catatan spesial dalam sejarah kepemiluan kita. Meskipun dihadang berbagai tantangan dan problematika, pemilihan serentak tahun 2020 terlaksana dengan baik di masa pandemi Covid-19.
Kini, bermodal sukses penyelenggaraan pemilihan tahun 2020, Indonesia akan menggelar Pemilu dan pemilihan serentak tahun 2024. Ada sejuta asa untuk suksesnya Pemilu 2024, meskipun disadari tantangan dalam penyelenggaraan nanti sangatlah besar, dan sedang menanti di depan mata.
Salah satu harapan ideal terhadap penyelenggaraan Pemilu di Indonesia adalah terselenggaranya pemilihan yang berintegritas. Pemilu berintegritas tentu saja harus dimulai dari penyelenggara Pemilu yang berintegritas, sebagaimana telah menjadi bagian dari vision statement KPU dalam rencana strategis (renstra) KPU 2020-2024, yaitu: “Menjadi Penyelenggara Pemilu Serentak yang Mandiri, Profesional dan Berintegritas”.
Sebagai bagian dari upaya mewujudkan penyelenggara Pemilu/pemilihan yang berintegritas maka UU Pemilu dan UU Pemilihan (UU Pilkada) telah mengatur bagaimana penanganan pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu (KEPP), termasuk didalamnya pelanggaran KEPP yang dilakukan oleh badan penyelenggara Pemilu ad hoc.
Pada prinsipnya penanganan pelanggaran kode etik menjadi ranah kewenangan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Dalam prakteknya, DKPP memiliki keterbatasan untuk dapat menjangkau penanganan pelanggaran oleh penyelenggara ad hoc. Karenanya sejak tahun 2019, penanganan pelanggaran kode etik badan ad hoc, diserahkan kepada KPU kabupaten/kota.
Berdasarkan pengalaman penanganan pelanggaran di saat tahapan Pemilihan Tahun 2020, terdapat berbagai problematika dan tantangan yang dihadapi, khusuusnya di kabupaten/kota yang memiliki karakteristik sebagai daerah kepulauan, sebagai contoh di Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro (Sitaro).
Tulisan berikut ini hendak mengulas dan memberikan gambaran tentang apa saja tantangan, kendala dalam penanganan pelanggaran kode etik badan ad hoc di daerah kepulauan dan bagaimana tawaran solusinya ke depan menghadapi Pemilu dan pemilihan tahun 2024.
Pemilu Berintegritas dan Penyelenggara Ad Hoc
Pemilihan umum adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), presiden dan wakil presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Demikian definisi Pemilu menurut UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Dari definisi tersebut tergambar bahwa pemilu merupakan sarana untuk mengejawantahkan kedaulatan rakyat dalam negara demokrasi. Pemilu berfungsi untuk mengkonversi kehendak rakyat menjadi jabatan-jabatan di lembaga negara. Sebagai konsekuensinya, pejabat-pejabat negara hasil Pemilu tersebut akan bekerja menjalankan mandat rakyat. Agar proses konversi kehendak rakyat menghasilkan wakil rakyat atau pejabat yang sesuai dengan kehendak rakyat, maka proses Pemilu harus dijalankan secara jujur dan adil.
Untuk menyelenggarakan Pemilu/pemilihan diperlukan komponen dan kelengkapan penyelenggara. Komisi Pemilihan Umum (KPU) adalah lembaga penyelenggara Pemilu/pemilihan yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Selain KPU, KPU provinsi dan kabupaten/kota yang bersifat tetap atau permanen, terdapat penyelenggara Pemilu yang sifatnya sementara atau ad hoc, yang hanya dibentuk di saat tahapan Pemilu/pemilihan. Dengan dibentuknya badan ad hoc, KPU dapat menyelenggarakan proses tahapan pemilihan di tingkat kecamatan sampai ke desa dan kelurahan.
Pemilu yang berintegritas adalah pemilu yang baik penyelenggara pemilu, peserta dan proses serta hasil pemilihannya pun harus berintegritas. Ramlan Surbakti dalam artikel di Harian Kompas 14 Februari 2014 berjudul Pemilu Berintegritas dan Adil, menyebut bahwa pemilu berintegritas atau integritas pemilu (electoral integrity) adalah salah satu dari enam parameter proses penyelenggaraan pemilu yang demokratis. Pemilu demokratis yang diadopsi Indonesia pada dasarnya adalah jabaran Deklarasi Umum HAM PBB. Inter Parliament Union (IPU) pada 1994 merinci pengertian Pemilu yang bebas dan adil itu dalam Deklarasi tentang Kriteria Pemilu Bebas dan Adil.
Badan penyelenggara pemilu ad hoc adalah panitia pemilihan yang bersifat sementara dengan memiliki tugas, wewenang dan kewajiban menyelenggarakan pemilu sesuai kewenangan yang diatur oleh UU Pemilu dan UU Pemilihan serta Peraturan KPU. Dalam peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2018 tentang Pembentukan dan Tata Kerja Badan Ad Hoc dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum disebutkan bahwa badan ad hoc meliputi: Anggota dan Sekretariat Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Anggota dan Sekretariat Panitia Pemungutan Suara (PPS), Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN), Kolompok Penyelenggara Pemungutan Suara Luar Negeri (KPPSLN), Panitia Pemutakhiran Data Pemilih/Petugas Pemutakhiran Data Pemilih, Panitia Pemutakhiran Data Pemilih Luar Negeri dan Petugas Ketertiban Tempat Pemungutan Suara.
Badan ad hoc merupakan penyelenggara pemilihan yang langsung bersentuhan dengan pemilih dan peserta pemilu karena bekerja di level bawah dan sifatnya sementara. Mereka merupakan bagian penting, karena menjadi ujung tombak dalam penyelenggaraan pemilu, juga sebagai garda terdepan dalam melayani pemilih dan peserta, serta tulang punggung demokrasi.
Disebut demikian, mengingat perannya yang sangat krusial dalam menghadapi proses tahapan pemilu, mulai dari tahapan pemutakhiran data dan penyusunan daftar pemilih, distribusi logistik, pemungutan dan penghitungan suara, hingga pada rekapitulasi hasil penghitungan suara.
Tugas-tugas badan ad hoc merupakan tugas yang rentan dengan pelanggaran. Berdasarkan pengalaman penyelenggaraan pemilu dan pemilihan sebelumnya, dalam menjalankan tugas, wewenang dan kewajiban menyelengarakan pemilu, badan ad hoc kerap kali melanggar kode etik penyelengara pemilu. Untuk mengontrol kemandirian, profesionalitas dan integritas badan ad hoc, dibentuklah sebuah sistem kontrol perilaku yang bisa mencederai integritas pemilu, diantaranya dengan penanganan pelanggaran kode etik. Jika sikap atau prilaku telah menunjukkan keberpihakan, maka penyelenggara bisa diminta pertanggungjawabannya melalui peradilan etik penyelenggara pemilu.
Kerangka Hukum Penanganan Pelanggaran KEPP
Sebagaimana telah disinggung di atas, penanganan pelanggaran KEPP merupakan amanat UU Pemilu (UU 7/2017) dan UU Pemilihan/Pilkada (UU 1/2015 dan 3 kali perubahannya). Misalnya dalam ketentuan Pasal 1 angka 24 UU Pemilu menyebutkan bahwa Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu yang selanjutnya disingkat DKPP adalah lembaga yang bertugas menangani pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu. DKPP kemudian mengatur kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara pemilu dalam Peraturan DKPP No. 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu.
Awalnya pelanggaran kode etik oleh badan ad hoc ditangani langsung oleh DKPP. Kemdian pada tahun 2019 dalam ketentuan Pasal 10A Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan DKPP Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Beracara Kode Etik Penyelenggara Pemilihan Umum, diatur pola baru penanganan pelanggaran kode etik badan ad hoc, bahwa dalam hal teradu dan/atau terlapor yaitu penyelenggara pemilu yang menjabat sebagai anggota PPK, PPS dan KPPS, pengaduan atau laporan diajukan langsung kepada KPU atau KIP Kabupaten/Kota dengan berpedoman pada peraturan KPU.
KPU kemudian mengatur langkah-langkah yang harus diambil dalam menangani pelanggaran KEPP oleh badan ad hoc dalam PKPU 8/2019 tentang Tata Kerja Komisi Pemilihan Umum, Komisi Pemilihan Umum Provinsi, dan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota, yang telah mengalami 3 kali perubahan terakhir dengan PKPU 4/2020. Penanganan pelanggaran KEPP badan ad hoc lebih detail diatur dalam Keputusan KPU Nomor 337/HK.06.2- Kpt/01/KPU/VII/2020 tentang Pedoman Teknis Penanganan Pelanggaran Kode Etik, Kode Perilaku, Sumpah/Janji, dan/atau Pakta Integritas Anggota Panitia Pemilihan Kecamatan, Panitia Pemungutan Suara, dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara.
Dalam ketentuan-ketentuan KPU tersebut, langkah-langkah yang diambil dalam menangani pelanggaran yaitu dengan mempelajari, menganalisa dan mengkaji pokok permasalahan, kemudian menindaklanjutinya dengan memanggil pihak-pihak yang terkait, memberhentikan sementara terlapor dari jabatannya yang dituangkan melalui surat keputusan, membentuk tim pemeriksa, mengumpulkan alat bukti, melaksanakan sidang pemeriksaan, mengkaji jenis pelangaran kemudian menjatuhkan sanksi kepada terlapor.
Sanksi bagi penyelenggara pemilu yang melanggar kode etik menurut Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 Pasal 21 dan Pasal 22 adalah teguran tertulis yang terdiri dari peringatan atau peringatan keras, pemberhentian sementara, dan pemberhentian tetap yang terdiri dari pemberhentian tetap dari jabatan ketua atau pemberhentian tetap sebagai anggota.
Problematika dan Alternatif Solusi
Sekalipun telah ada kerangka hukum yang lengkap dan detail dalam penanganan pelanggaran kode etik badan ad hoc, namun dalam prakteknya di daerah kepulauan, ditemui tantangan dan kendala. Sementara itu, KPU Kabupaten/Kota dituntut melaksanakan kewenangan penanganan pelanggaran tersebut sesuai dan tidak boleh bertentangan dengan regulasi.
Pengalaman penanganan pelanggaran di saat Pemilihan Tahun 2020 di Kepulauan Sitaro, berbagai kondisi yaitu masa pandemi, ketersediaan anggaran, karakteristik wilayah yang terdiri dari pulau-pulau, kendala cuaca di lautan dan kendala telekomunikasi serta daerah rawan bencana merupakan beberapa problematika yang harus dicarikan solusinya.
Alat transportasi menggunakan kapal laut dan perahu untuk menjangkau penyelenggara pemilu di tingkat kecamatan dan desa/kampung untuk mengumpulkan alat bukti, pemanggilan saksi, pelapor dan terlapor tentu saja menjadi problematika khas di daerah kepulauan. Apalagi ketika pemilihan tahun 2020 dilaksanakan di tengah pandemi Covid-19, di mana mobilisasi personil dalam penanganan pelanggaran juga terbatas karena terdapat aturan oleh pemerintah daerah setempat yang memberlakukan pembatasan orang keluar masuk pelabuhan, baik itu keluar kabupaten atau antar pulau dalam kabupaten.
Sebagaimana tertata dalam regulasi yang mengatur teknis penanganan pelanggaran KEPP badan ad hoc, dalam hal ini PKPU 8/2019 dan perubahannya serta Keputusan KPU 337/2020, penanganan pelanggaran baik karena hasil pengawasan internal maupun karena adanya laporan/pengaduan, dibatasi oleh tenggang waktu dalam setiap tahap penanganan perkara. Misalnya dalam ketentuan Pasal 101 ayat (3) huruf a dan b mengatur bahwa, KPU kabupaten/kota menangani dugaan pelanggaran kode etik, kode perilaku, sumpah/janji, dan pakta integritas yang dilakukan oleh PPK, PPS, dan KPPS berdasarkan hasil pengawasan internal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan ketentuan:
a. KPU Kabupaten/Kota melakukan Rapat Pleno adanya dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh anggota PPK, PPS, dan/atau KPPS;
b. KPU Kabupaten/Kota melakukan verifikasi dan klarifikasi kepada anggota PPK, PPS, KPPS dan/atau pihak terkait paling lambat 1 (satu) Hari setelah Rapat Pleno sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
Implementasi dari norma tersebut adalah KPU Kabupaten/Kota harus mengirimkan surat panggilan untuk klarifikasi kepada teradu segera setelah melaksanakan rapat pleno, dan proses klarifikasi harus segera dilaksanakan esok harinya sebagaimana ketentuan yaitu 1 (satu) hari setelah rapat pleno. Ketentuan ini tidak bermasalah jika domisili teradu berada di pulau yang sama dengan kedudukan KPU Kabupaten/Kota. Namun, jika domisilinya berada di pulau yang berbeda maka pelaksanaan klarifikasi awal dalam jangka waktu 1 (satu) hari setelah rapat pleno tersebut berpotensi terlampaui.
Kendalanya adalah transportasi antar pulau yang tidak selalu tersedia setiap hari dan ketersediaan jaringan internet. Kondisi tersebut pada akhirnya menuntut penanganan yang lebih dari 1 (satu) hari, mulai dari pengiriman surat panggilan yang harus disampaikan langsung karena tak bisa dikirim melalui surel atau aplikasi pesan seperti WhatsApp, akibat tak tersedianya jaringan internet, dan proses kedatangan teradu yang harus menyesuaikan dengan jadwal kapal laut. Sebenarnya jika jaringan internet tersedia dan stabil, klarifikasi awal dapat dilakukan secara daring, namun masih banyak daerah yang ada dalam kondisi dimana jaringan internet tidak tersedia (blank spot), atau tersedia namun tidak stabil.
Dalam konteks permasalahan ini, ada beberapa alternatif solusi yang dapat ditawarkan. Pertama, penambahan jumlah hari untuk melakukan klarifikasi awal dapat menjadi solusi dan diberlakukan untuk daerah kepulauan atau daerah yang tidak punya jaringan internet. Solusi ini sejalan dengan ketentuan dalam mekanisme selanjutnya oleh Tim Pemeriksa, seperti diatur dalam Pasal 107 yang mengatur pemeriksaan/pembuktian oleh Tim Pemeriksa dilakukan paling lama 3 (hari) hari setelah kajian selesai dilakukan dengan menggunakan prinsip terbuka dan adil.
Alternatif solusi kedua adalah perubahan terhadap ketentuan Pasal 101 ayat (3) huruf b, diubah dengan menghilangkan kata ‘klarifikasi’, dan cukup dengan verifikasi administrasi saja. Dengan demikian pemanggilan terhadap teradu cukup hanya sekali saja yaitu oleh Tim Pemeriksa apabila berdasarkan hasil verifikasi ditemui terpenuhinya unsur untuk dugaan pelanggaran KEPP. Solusi ini mungkin lebih cocok untuk memenuhi prinsip pembuktian cepat atau speedy trial.
Alternatif solusi ketiga adalah merevisi regulasi dengan memuat pengaturan tentang dimungkinkannya pemeriksaan setempat oleh Tim Pemeriksa, dengan melaksanakan pemeriksaan di daerah domisili atau di pulau tempat tinggal teradu, tanpa harus melaksanakan peradilan di kantor KPU yang ada di pulau berbeda dengan domisili teradu pelanggaran etik badan ad hoc. Strategi jemput bola ini dapat memangkas waktu penanganan.
Solusi-solusi di atas kiranya dapat menjadi pertimbangan ketika KPU RI melakukan evaluasi dan perubahan terhadap ketentuan PKPU Tata Kerja. Rekonstruksi regulasi dapat menjadi solusi terhadap permasalahan atau kendala yang dialami dalam proses pemeriksaan pelanggaran kode etik oleh badan ad hoc terutama di daerah kepulauan.
Penutup
Kompleksitas persoalan yang dihadapi dalam penyelenggaraan Pemilu 2024 membutuhkan keberanian dan kebijaksanaan dalam pengambilan keputusan yang cepat dan tepat oleh penyelenggara pemilu/pemilihan. Harapan ke depan berbagai kendala yang dialami terutama di daerah kepulauan dapat diantisipasi, diantaranya dengan melakukan penyesuaian terhadap regulasi yang ada.
Dengan mengevaluasi dan belajar dari pelaksanaan Pemilu/pemilihan sebelumnya diharapkan banyak inovasi dan kebijakan akan diambil oleh penyelengara pemilu dalam menghadapi Pemilu Tahun 2024. Perbaikan-perbaikan ke depan, tentu saja dimaksudkan untuk mencapai visi bersama: “Menjadi Penyelenggara Pemilu Serentak yang Mandiri, Profesional dan Berintegritas”. Semoga kita semua dimampukan untuk melakukan perbaikan-perbaikan menuju Pemilu berintegritas. (*)