Editor: Maher Kambey
Pewarta: Rusmin Hasan
MANADO (Gawai.Co) – Semalam bareng kawan-kawan lama menikmati racikan kopi Aceh Manado, sembari menunggu pertandingan sepak bola piala dunia Qatar 2022.
Di sela-sela mengkalibrasi kopi, dialektika gagasan pun, berselingan bagai sinar yang mengelilingi malam itu, mulai dari gagasan analisa kemenangan team yang dijagokan masing-masing, tema kemanusiaan, cinta, revolusi dan perjuangan mengintai malam itu dengan pikiran-pikiran kritis bahkan ngaris bersiwiran enta kemana.
Adakak masa depan demokrasi dalam rentetatan dialektika tersebut? Pasti, di pandangan kawan-kawan dialektika tersebut hanya sebatas pikiran teoritis belaka tanpa menyimpan makna masa depan demokrasi kita.
Pandangan pada umumnya demikian, orang beranggapan bahwa kafe atau warung kopi hanya wadah perkumpulan biasa bagi generasi melenial tanpa melihat dimensi sosiohistorisnya.
Padahal kafe bagi saya ialah wadah perkumpulan anak-anak muda yang progresif untuk mengendap ribuan masa depan demokrasi kita.
Meminjam analisa Jurgen Herbermas dalam karyanya (The Struktural transformation of the public sphere, An Inguiry into a Caregory of Bourgeois Socety, 1889), bagi dia kafe ialah wadah anak muda atau pegiat komunitas sebagai oikos (rumah) yang tidak ada lagi distingsi antara privat dan publik.
Semua menyatu dalam lanskap ruang sembari mengkalibrasi kopi secara bersama tanpa membedakan kelas sosial, semua setara dalam secangkir kopi.
Tidak sebatas itu saja, baginya kafe juga adalah tempat tumbuhnya ide-ide baru yang berseliweran mulai dari tema-tema kritis, tajam dan berkualitas sampai ide-ide usang namun bermakna.
Nah, dari sinilah saya menyebut dalam secangkir kopi terdapat narasi demokrasi. Karena menurut hemat saya, hanya di dalam wadah kafe kita merdeka dan setara untuk mendistribusikan ide-ide progresif dan berkemajuan.
Dari situlah kualitas demokrasi kita akan berkembang karena generasi kita menjaga kewarasan publik.
Sebagaimana kata Jurgen Herbermas, ruang publik kita hanya bisa tumbuh pikiran yang berkualitas. Ia juga menyebut bahwa ruang publik kita yang berkualitas akan tumbuh demokrasi deliberatif.
Model demokrasi yang melahirkan aturan hukum yang legitimasinya bersumber dari kualitas prsedural deliberatif. Bukan, hanya saja dalam lembaga-lembaga formal negara seperti parlemen, tetapi juga terpenting dalam masyarakat secara keselurahan.
Melihat hari-hari ini ruang publik mengalami kemandekan pikiran dan matinya dialektika gagasan dan lebih tragisnya ruang publik kita terbangun sejumlah ketidakberesan dan telah berubah menjadi panggung kompetisi bagi mereka yang memiliki modal.
Ruang publik kehilangan prakarsa yang membangkitkan kreatifitas, dan modal sosial warga semua telah terjerumus dalam patahan modal sosial sebagai perekat sosial masyarakat. Miris melihat ruang publik kita.
Sehingga melalui narasi sederhana ini, saya ingin mengajak aktivis gerakan bahkan masyarakat pada umumnya untuk menghadirkan ruang kafe bukan hanya wadah kongko-kongko biasa namun hendak kita berada di rumah kafe apapun itu, mari kita hadirkan ruang pikiran kritis untuk mendiskusikan problem kebangsaan dan keumatan hari ini.
Hal ini mengingat tantangan demokrasi kita mengalami cengkraman oligarki atau sekelompok elit pemilik modal yang menguasai semua rana keputusan politik kita.
Alhasil, kita hanya menjadi tameng disetiap hajatan pesta demokrasi. Melalui alternatif warung kafe kita akan mampu menghadirkan paradigma demokrasi yang dirajut secara simultan dan syarat makna subtantif.
Sebagaimana sudut-sudut kota pada umumnya, begitu pula dengan kota manado sulawesi utara, kafe sudah menjadi ciri masyarakat perkotaan yang menghadirkan ruang-ruang interaksi sekaligus sebagai representasi medium bagi kaum muda untuk melampiaskan kebekuaan pikiran dan kegelisaan terhadap kondisi sosial kita.
Ketika ruang publik kota manado dipenuhui dengan situasi pengap, kehampaan kreasi dan kemandekaan interaksi yang berkemajuan.
Dan berganti wajah menjadi pertarungan penguasa dan oligarki yang tak sehat dan adil. Maka kafe di Kota Manado menjadi rumah bersama untuk berkumpul, di sana terdapat beragam wacana kemajuan yang diperdebatankan.
Baik itu ide-ide kritis yang kerap genit dan nakal yang menggonggong penguasa terlontar begitu demokratis dan berkeadilan.
Kenapa tidak? Kesadaran masyarakat perkotaan sudah menjadi keniscayaan universal yang ditampilkan oleh anak muda kota manado hari-hari ini sebagai deskripsi transformasi masyarakat perkotaan.
Sebagaimana ungkapan dari seorang sosiolog terkemuka; Emile Durkheim ia mengungkapkan bahwa masyarakat perkotaan tertuju pada sebuah ikatan solidaritas.
Di mana solidaritas masyarakat perkotaan (Gesellschaft). Sangat berbeda dengan masyarakat Sangat pedesaan (Gemeinschaft).
Dari sinilah, masyarakat kota dapat dipahami sebagai bagian yang memiliki solidaritas. Namun solidaritas kolektif rendah, karena masyarakat kota pada umumnya sebagai masyarakat pendatang sehingga nyaris terlihat induvidualistik.
Berbeda dengan masyarakat pedesaan yang relatif dominan sebagai masyarakat asli dan memiliki solidaritas relatif kuat, gotong royong, saling bahu membahu dan menjunjung tinggi slogal “Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing”.
Artinya, pekerjaan yang berat sekalipun apabila dilakukan bersama-sama akan terasa ringan dan muda. Namun menariknya, di warung kafe Kota Manado pertautan persaudaraan, persamaan dan solidaritas yang kuat itu telah terbangun didalam secangkir kopi.
Kopi bagi anak muda atau melenial hari ini bukan hanya sekedar menghibur diri, namun lebih dari itu menyimpan makna pertautan persaudaraan, revolusi, cinta dan perjuangan.
Dari sinilah demokrasi ideal bisa kita afirmasi dalam ruang publik yang tumbuh ide-ide berkemajuan dan progresif. Karena hanya dengan ruang publik yang berkualitaslah demokrasi kita akan tumbuh demokratis.
Di Kota Manado Sulawesi Utara, tidak hanya jarod 45 (jalan roda) muncul puluhan kafe dengan berbagai corak, model, dan pola yang diadopsi kafe moderen masyarakat urban.
Suasana yang nyaris harga murah meriah, sesuai standar kemampuan anak muda inilah kafe di Manado sudah menjadi oikos untuk menjalin relasi sosial, perkawanan dan solidaritas.
Di dalam kafe juga, semua melebur tanpa rekayasa, tanpa dibuat-buat. Semua menegaskan kesetaraan sebagai manusia. Inilah yang kerap menjadi keunikan kota manado dibandingkan kota-kota lain.
Terlepas dari ikatan masyarakat yang harmonis, toleran, humanis dan saling menghargai perbedaan agama, ras dan komunitas.
Sehingga saya menyebut kota manado ialah kota pikiran, toleransi, sekaligus kota peradaban yang tumbuh ide-ide kritis, ilmiah, dan berkemajuan sebagai gambaran karakter masyarakat metropolitasnisme universal.
Kafe di Kota Manado telah mengajarkan kita sebuah ruang yang akan tumbuh masa depan demokrasi kita. Karena disana telah tumbuh kualitas ruang publik yang cenderung sehat, harmonis dan berkemajuan.
Di kafe telah tumbuh interaksi sosial dan diskursus yang berbasis ilmiah untuk memperkuat kohesi sosial masyarakat perkotaan di tengah kehidupan sosial kita hari ini cenderung induvidualistik, egoisme dan sektarianisme sempit.
Sehingga saya beroptisme bahwa upaya mendorong demokrasi subtantif atau dalam istilah Jurgen Habermas sebagai demokrasi deliberatif yang perluh dilestarikan, diperkuat disudut-sudut kafe. Dari situlah kualitas masa depan demokrasi kita akan tumbuh.
“Kejahatan dan kesia-siaan ada, sebab manusia tidak sibuk dengan kopi dan buku”. (Jazuli Imam)