Ketum LPPN Dr. Semuel Linggi Topayung MAP. (ist) |
Editor: Tim Gawai
Ditulis Oleh: Dr. Semuel Linggi Topayung MAP
JAKARTA (Gawai.co) – Presiden terpilih Ir. Joko Widodo dan Wakil Presiden Prof. Dr.K.H.Ma’ruf Amin dan telah dilantik sebagai kepala negara di Republik Indonesia periode 2019-2024 sudah berjalan selama dua tahun lebih.
Pasangan ini terpilih dengan perolehan suara sebanyak 85.607.362 suara atau 55,50 persen dari total suara sah nasional.
Kemenangan pasangan Jokowi- Ma’ruf Amin adalah hasil kerja keras dari dari tim organisasi yang terbentuk, baik dari kelembagaan partai politik sebagai partai pendukung maupun dari organisasi relawan. Dua kelompok kategori organisasi pendukung ini memiliki perbedaan masing-masing secara garis besar.
Partai politik lebih tertuju kepada pergerakan sentralistik struktural organisasi sementara relawan lebih tertuju pada pergerakan militansi individual.
Kalau partai politik cenderung melaksanakan mobilisasi, sementara relawan lebih tertuju pada partisipatif. Partai politik budgeting besar dan sangat institusional, komando, relawan cenderung kreatif tapi risikonya lebih besar.
Munculnya kelompok relawan ini sebagai perkembangan demokrasi ke arah yang lebih bagus. Mengapa? Karena kehadiran relawan-relawan ini memberikan indikator adanya perluasan partisipasi politik masyarakat di luar dominasi oligarki partai politik (parpol) dalam memilih pemimpin negeri.
Kehadiran mereka pun mengisyarakatkan meningkatnya kemelekan politik masyarakat dan sikap tindakan sukarela, tanpa imbalan yang bermanfaat bagi terciptanya perubahan.
Di Indonesia, menjamurnya relawan politik baru gencar terdengar ketika pemilihan presiden 2014 lalu, tepatnya saat masyarakat memiliki keinginan kuat untuk mengajukan Jokowi yang saat itu baru setahun menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta, untuk maju sebagai presiden.
Para pendukung ini pun mulai membuat kelompok-kelompok yang misinya sebenarnya sama, yaitu menyukseskan langkah Jokowi ke kursi kepresidenan.
Di Amerika Serikat sendiri, power masif gerilya relawan politik terlebih khusus di media sosial (medsos) diakui mulai terjadi pada pemilihan Pilpres tahun 2004, yang mana saat Barack Obama mencalonkan diri sebagai presiden kulit hitam pertama di negara Paman Sam tersebut.
Langkah Obama ini pula yang sepertinya menginspirasi, sehingga kemudian muncullah barisan buzzer yang dikendalikan para relawan Jokowi.
Munculnya kesan ‘pencitraan’ Jokowi pun tak lepas dari gigihnya para relawan bergerilya menyebarkan informasi, serta upaya pelurusan informasi dan berita negatif dari lawan politik yang jumlah relawannya juga tak kalah banyak.
Pada Pilpres 2019 relawan perannya lebih penting dari pada pemilihan presiden 2014. Hal ini disebabkan karena Pilpres 2019 bersamaan dengan pemilihan legislatif yang akan memecah fokus partai politik.
Pemilihan umum tahun 2019 adalah pemilihan Umum pertama yang bersamaan antara pemilihan presiden dan pemilihan legislatif.
Jadi dalam pemilihan presiden partai politik tidak terlalu banyak berperan, mereka akan lebih fokus pada bagaimana mendapatkan suara terbanyak untuk calon legeslatifnya, sehingga yang kerja keras di lapangan adalah organ-organ relawan.
Pemilu legislatif yang memakai sistem proporsional terbuka akan benar-benar menguras semuanya para calon anggota legislatif untuk memenangkan dirinya masing-masing.
Apalagi sistem seperti ini sangat menguras logistik karena mereka bukan hanya bersaing dengan caleg berbeda partai, tapi juga internal partai.
Selain itu, dengan adanya parliamentary threshold empat persen juga akan membuat parpol bekerja keras agar mereka tetap masuk parlemen.
Jadi partai politik biasanya perannya hanya internal, sosialisasi ke dalam, sementara arena kontestasi yang mesti digarap jauh lebih luas. Pada konteks inilah relawan sangat berperan.
Para relawan juga dianggap lebih luwes dan efektif dalam mengeksekusi setiap program calon. Berbeda dengan partai politik yang menurutnya lebih ribet dan birokratis.
Relawan melakukan pertemuan dengan kelompok-kelompok kecil, blusukan, menjelajah dengan cepat, memutuskan dengan cepat, kerjanya juga bisa lebih bagus karena tidak formal, meski para relawan kerap bergerak sendiri di luar koordinasi dan tak terstruktur, mereka sangat efektif untuk menyosialisasikan calon presidennya kepada masyarakat.
Pada konteks pemilihan presiden tahun 2019 ini khususnya pada pasangan nomor urut 01 Ir. Joko Widodo dan Prof. Dr. K. H. Ma’ruf Amin jumlah relawan yang terdaftar di Tim Kampanye Nasional (TKN) berjumlah 700 lebih organ relawan.
“Jika dilihat dari uraian diatas mengenai peran dari pada organ-organ relawan, khususnya pendukung pasangan 01 Jokowi-Ma’ruf Amin, bisa kami katakan bahwa kemenangan Pak Jokowi dan Pak Ma’ruf Amin adalah peran dari tim organ-organ relawan yang militan di pelosok daerah-daerah seluruh Indonesia,” ungkap Ketua Umum Lembaga Pendamping Pembangunan Nasional (LPPN) Dr. Semuel Linggi Topayung MAP.
Sekretaris Jenderal Tim Relawan Kasih Jokowi (Komunitas Kristen Indonesia) ini menyebut, berdasar dari itu maka selayaknya tim dari organ relawan Jokowi diberikan kesempatan untuk berperan dalam membantu presiden dan wakil presiden dalam menyukseskan setiap program kampanyenya dalam pemerintahan.
Namun, kenyataannya banyak organ relawan Jokowi yang terpinggirkan alias tidak diberikan kesempatan dalam membantu menyukseskan program kampanye Jokowi, sehingga selama dua tahun kepemimpinan sering menimbulkan diskomunikasi publik akibat orang dekat Presiden Jokowi yang tidak pernah terlibat secara aktif dalam perjuangan kampanye namun tiba-tiba berperan.
Posisi relawan Jokowi seperti ini menjadi dilematis karena janji kampanye saat pilpres ke masyarakat pendukung Jokowi tidak mampu merelealisasikan dan menjembati janji kampanye Jokowi disaat kampanye masa Pilpres tahun 2019.
“Kami berharap kepada Bapak Jokowi dan Bapak K. H. Ma’ruf Amin sebagai presiden dan wakil presiden terpilih agar dapat memperhatikan kerja keras organ-organ relawan selama ini dan jangan dianaktirikan,” tegasnya. (Tim Gawai)