Editor/Penulis: Alfondswodi
NASIONAL (Gawai.co) – Kebijakan Pemerintah Kota (Pemkot) Manado dan PLN, terkait dengan peresmian Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik (SPKLU) wilayah Sulawesi, Maluku, Papua dan Nusa Tenggara (Sulmapana) disoroti oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Utara.
Diketahui peresmian SPKLU secara serentak diwilayah Sulmapana, pada Senin 18 Januari 2022, yang digelar di Kawasan Megamas Kota Manado, Sulawesi Utara, menjadi pembicaraan hangat oleh pemerhati lingkungan yang tergabung di Walhi Region Sulawesi.
Menurut Eksekutif Direktur (ED) Walhi Sulut, Theo Runtuwene, melalui siaran pers menyatakan, pihaknya menyoroti kebijakan SPKLU diwilayah Sulmapana, bukan tanpa alasan. Kebijakan ini tidak memprioritaskan keadilan iklim karena akan ada wilayah hutan dan sumber-sumber penghidupan rakyat Pulau Sulawesi yang akan hancur dan hilang akibat beroperasinya jutaan mobil listrik di Indonesia dan dunia.
“Ini terkait dengan bahan baku utama pembuatan mobil listrik yang akan merusak hutan Pulau Sulawesi dan akan berdampak pada perempuan di wilayah lingkar tambang nikel” tegas ED Walhi Sulut. Selasa (18/1/2022).
Pihaknya pun, menyatakan menolak solusi ‘Palsu’ yang digaungkan oleh pemerintah, terhadap kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak pada keselamatan rakyat dan lingkungan hidup.
“Walhi Sulut menuntut kepada pemerintah dan PLN untuk melakukan kerja-kerja investasi yang berdasarkan juga pada keadilan iklim, Hak Asasi Manusia dan keadilan rakyat itu sendiri. Serta menjamin adanya solusi berdasarkan keadilan iklim” kata Runtuwene.
Selain itu, Walhi Sulut pun mengatakan ada sejumlah poin yang menjadi sorotan dalam keterkaitan isu perubahan iklim, salah satunya pelaksanaan Conference of Parties ke-26 (COP26) yang membahas isu perubahan iklim di Glasgow tidak seperti yang disampaikan oleh Walikota Manado.
“Pelaksanaan COP26, menurut kami sangat keliru! Kami menganggap pelaksanaannya belum mengarah pada jalur yang tepat dalam upaya memenuhi target Perjanjian Paris untuk menjaga suhu bumi tidak melewati ambang batas 1,5 derajat Celsius. Komitmen penurunan emisi semua negara yang terlibat dalam negosiasi justru mengarah pada kenaikan suhu bumi mencapai 2,7 derajat celsius” bebernya.
Begitu juga, pandemi dan diskriminasi akses terhadap vaksin di tingkat global, para negosiator dari negara berkembang banyak yang tidak bisa hadir secara langsung. Demikian juga dengan perwakilan masyarakat sipil, masyarakat adat, perempuan dan anak muda yang dibatasi ruang geraknya dalam menyampaikan pendapat.
“Hal Ini menunjukkan tidak Inklusifnya pelaksanaan COP26 dan seolah menunjukkan bahwa konferensi Ini hanya untuk elit. Di sisi lain, perwakilan dari korporasi dan sektor bisnis justru difasilitasi dan diberi ruang dalam mempromosikan gagasan dan solusi palsu yang berdasarkan pada mekanisme pasar” bebernya kembali.
Iapun melanjutkan, dibeberapa pidato Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan bahwa Industri Nikel di Indonesia akan tetap menjadi prioritas, hal ini dibuktikan dengan kesiapan Presiden Joko Widodo melawan Gugatan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Dalam kesempatan itu Joko Widodo menegaskan kepada semua pihak untuk tidak melewatkan kesempatan mengelola barang tambang sendiri.
“Menurut kami pidato Presiden menegaskan bahwa kepada semua pihak untuk tidak melewatkan kesempatan mengelola barang tambang sendiri, menjadi ancaman Kerusakan Hutan, Lingkungan, Pelanggaran HAM serta kemiskinan terstruktur bagi kaum Perempuan dan Anak di Pulau Sulawesi” imbuhnya.
Ancaman-ancaman di atas akan terus meningkat, kata ED Walhi Sulut, apalagi Jokowi telah mengeluarkan Perpres Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) untuk Transportasi Jalan yang ada di Indonesia.
“Kami Walhi Region Sulawesi jelas akan melakukan Strategi Advokasi untuk menentang ancaman ekstraksi nikel dalam upaya pemerintah menjalankan percepatan program Kendaraan Listrik Berbasis Baterai di Indonesia” pungkas Runtuwene sembari menambahkan, imbas perusahaan tambang akan semakin agresif mengeruk bahan baku berupa nikel di Tanah Pulau Sulawesi. (***)