Editor: Indra S. S. Ketangrejo
Pewarta: Michelle De Jonker
MINSEL – (Gawai.co) – Kabupaten Minahasa Selatan (Minsel), Sulawesi Utara (Sulut) sangat terkenal dengan hasil bumi jenis holtikultura. Bisa dibilang, dapur Indonesia timur. Apalagi daerah itu, menyuplai sayuran antar provinsi di bagian Sulawesi Tengah (Sulteng) hingga ujung timur Indonesia.
Selain hasil bumi jenis holtikultura, ada hal menarik lain di daerah tersebut. Diantaranya, maraknya pengaruh game online dan aktifitas anak yang pasif akibat ‘Gadget’, ternyata masih ada desa di Minsel yang peduli dengan perkembangan anak dengan kegiatan positif agar mampu bersosialisasi dengan anak sepantarannya di kehidupan nyata.
Desa Mokobang namanya. Desa ini, merupakan pintu gerbang daerah Kecamatan Modoinding, Minsel. Menurut, Hukumtua di Desa Mokobang, Wiklif Maindoka (39) ada keistimewaan lain di Desa Mokobang yang dipimpinnya itu.
Selain masyarakat setempat mayoritasnya adalah petani, sebagian besar juga ahli dalam membangun rumah adat panggung (bongkar pasang). “Dalam sebulan dapat memproduksi 15-20 Rumah, tergantung ukuran besarnya rumah menggunakan Kayu meranti (pulutan), Wuse (wesar) Pakoba (Aliwowos) Aras (kikisan), Meranti (Cempaka), biasanya menyesuaikan dengan pesanan dari pembeli,” kata Wiklif, (26/5/2022).
Dia menjelaskan, pada waktu Tahun 1972 berawal dari kegiatan masyarakat yang berprofesi tukang gergaji kayu tangan (Manual), hasil yang didapat untuk rumah panggung dipakai sendiri, karena pada waktu itu di pinggir kampung ada begitu banyak kayu cempaka dan kayu Kulit kuning.
“Di saat yang sama panen cengkih di daerah Tondano Pante melimpah, maka datanglah masyarakat Tondano Pante membeli rumah panggung di Desa Mokobang,” jelasnya.
Menurutnya, total penduduk di desa Mokobang berjumlah 1.659 jiwa yang 40 diantaranya adalah pengusaha produksi rumah adat panggung ‘bongkar pasang “Selama ini pemesanan rumah adat panggung dari desa Mokobang ada yang dari Morowali Sulawesi tengah, Bekasi jawa barat, Papua, Kalimantan, Sumatera, Bali, hingga ke luar negeri Singapura, USA, Philippines, Timor Leste,” ungkap Wiklif.
Keunggulannya bahan baku yang digunakan (Kayu) adalah kayu yang sudah besar dan tua model rumah yang mengikuti model kekinian saat ini. Selain itu, kayu yang sudah tak terpakai lagi dalam proses pembuatan rumah kayu, diberdayakan untuk pemainan anak.
Dijelaskan, permainan anak tradisional ini dibuat dari sisa kayu menjadi sepeda kayu, kalau untuk dijual sepertinya belum terpikirkan sampai disitu, akan tetapi kalaupun ada yang ingin membeli mungkin harganya bisa mencapai 250-300 ribu rupiah.
“Tindakan positif ini berawal dari kekuatiran saya melihat anak-anak di desa kami yang sudah ketergantungan terhadap HP (android), maka saya berpikir/mencoba membuat sesuatu untuk permainan yang dapat menarik perhatian anak-anak agar satu sama lain bisa saling mengenal dengan dekat sesuai masanya,” jelasnya.
Lanjutnya, penting bagi mereka membudayakan permainan anak tradisional di kampung, agar anak-anak tidak hanya terfokus pada permainan online. Tapi kata dia, mengajarkan anak-anak untuk lebih kreatif dan inovatif lagi bahwa ada begitu banyak media yang ada disekitar kita yang dapat dijadikan Permainan tradisional.
“Tentunya menjadi kerinduan setiap pemimpin bahwa masyarakat desa Mokobang hidup rukun dan damai, saling menghormati, saling menghargai, saling menolong. Terus menjaga budaya mapalus dengan begitu akan hadir generasi muda yang peduli akan desa Mokobang, generasi muda yang inovatif, bahkan generasi muda yang bisa membawa desa Mokobang berbudaya, maju dan sejahtera,” tutupnya. (mdj)