Editor: Maher Kambey
Pewarta: Rusmin Hasan
TONDANO (Gawai.co) – Sagu telah menjadi komoditi pangan nasional, makanan khas rang Halmahera. Solusi di tengah krisis pangan Global yang bukan hanya sekedar ritual. Namun, telah menjadi nafas, karakter hidup petani di pesisir Halmahera Provinsi Maluku Utara.
Sambil menyeruput kopi pagi tadi sembari menikmati sebatang rokok di tengah-tengah teman-teman saya memilih menikmati tidur nyenyak dan terlelap di kasur empuknya. Saya menyambut keindahan pagi dini tadi, dengan mengambil laptop sambil memulai aktivitas sebagaimana biasa.
Layaknya seorang penulis alias jurnalis yang kerap menjaga kewarasan pikiran. Karena bagi saya mendaras buku bacaan sebanyak mungkin tanpa dilandasi dengan tradisi menulis dan mendialog ide-ide berkemajuan dan progresif keruang publik.
Ide tersebut, hanyalah menjadi narasi usang yang disimpan otak, di lemari kamar atau pun di meja tanpa makna.
Sebagaimana ungkapan dari seorang pengarang produktif, dalam sejarah sastra indonesia Pramoedya Ananta Toer dalam catatan Bumi Manusia, ia mengatakan bahwa orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, Ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.
Menulis adalah kerja keabadiaan. Saya memulai tulisan saya ini dengan sepenggal pesan syarat makna subtantif tersebut. Sehingga menjadi inspirasi untuk kita semua.
Hari-hari ini, kita dihadapkan pada perubahan iklim yang sangat ekstrem dan ketegangan geopolitik global antara Russia dan ukraina, yang mengancam krisis ketahanan pangan global.
Hal tersebut, hemat saya kalau tidak secepatnya ditangani secara serius oleh pemerintah pusat, provinsi, daerah sampai desa akan berdampak mendorong konflik yang berkepanjangan.
Pasalnya, akan menyebabkan efek yang meluas keberbagai negara termasuk indonesia. Sebagai akibatnya, rakyat kita akan diterpa banyak orang kelaparan, krisis ekonomi dan bahkan lebih tragisnya, rakyat kita akan meninggalkan tempat tinggal mereka karena telah terjadi ketidak stabilannya sosial, ekonomi bagi masyarakat kita.
Dikhawatirkan penduduk negara-negara miskin menjadi paling terancam. Hal ini harus direspon secepatnya oleh pemangku kekuasaan dibangsa ini, bahkan secara umumnya kita semua sebagai manusia yang berfikir.
Hemat saya, Indonesia harus mampu mewujudkan ketahanan pangan nasional berbasis pangembangan pangan lokal. Sala satunya, ialah “Sagu”.
Hanya dengan potensi sagulah, Indonesia bisa mencari alternatif solusi ditengah krisis pangan global hari ini sebagai pengganti beras dan tepung terigu.
Sehingga negara kita tidak selamanya bergantung pada komoditi terigu yang selama ini di impor secara terus menerus. Alhasil, kita hanya memperkayah negara asiang bukan bangsa kita sendiri.
Potensi sagu nasional telah menjadi komoditi yang mampu menjawab krisis pangan hari ini, apabila pemerintah serius mengembangkannya.
Kita memiliki 11 provinsi di Indonesia sebagai pusat produk sagu nasional. Diantarnya; Provinsi Maluku Utara, Maluku, Riau, papua, sulsel, madura, kalimantan, nusa tenggara dan provinsi lainnya.
Pemerintah pusat sampai lokal harus mengintervensi, mendampingi secara intens dan membuka akses seluasnya untuk pengembangan komoditi sagu secara serius dan afektif.
Sehingga lewat langka tersebut kita bisa mengembangkan sagu dari hulu kehilir benar-benar terbangun untuk mendukung daya dorong kemandirian pangan Nasional dibangsa ini.
Gema Pangan Sagu di Provinsi Maluku Utara
Sebagai Generasi yang dibesarkan di Provinsi Malulu Utara, saya melihat dan ikut mengelolanya sewaktu saya masih dibangku SMP sampai SMA.
Saya, sering diajak ayahku untuk membuat sagu dari pohon sagu bahkan atas komoditi sagulah saya dan teman-teman sejawat bisa melanjutkan studi di perguruan tinggi.
Sehingga, saya menyebut bahwa sagu telah menjadi karakter orang indonesia timur pada umumnya khusunya di Maluku Utara pengembangan komoditi sagu telah menjadi kiprah, karakter bahkan hidup masyarakat petani secara turun temurun.
Pasalnya, disetiap momentum Idul Fitri, Natal bahkan perayaan hari-hari besar sagu menjadi makanan khas orang Halmahera dan Maluku Utara pada umunya.
Dulu, bagi orang Maluku Utara sagu merupakan pangan bagi mereka atau istilah kami menyebutnya sebagai makanan khas atau makanan pokok orang Maluku Utara yang dikemas dalam bentuk; Popeda (makan dari sagu) yaitu tepung sagu yang diaduk dalam air panas hingga mengental dan terjadi perubahan warna.
Setelah itu, disajikan dengan kua ikan, gue kering, sagu gula, yang kerap dikenal sebagai makan khas orang Halmahera dan Maluku utara sekitar tahun 1980- 1990 hingga bertahan sampai sekarang ini.
Dan dalam setiap acara popeda, menjadi makanan favorit masyarakat Maluku Utara. Diceritakan, bahwa dalam sebatang sagu setinggi mencapai 20 meter, bisa menghasilkan pati sagu sampai 10 karung.
Satu karung katanya, berisi 25 kg dengan harga 200,000- Rp, 300.000 awalnya. Tapi seiring kenainakan harga BMM (Bahan Bakar Minyak) ikut naik berkisar RP 375,000.
Sehingga bagi orang Halmahera dan Maluku utara pada umumnya sagu telah mejadi makanan pokok pangan kami. Di tahun 80-90 an bahan pangan utama mereka adalah sagu.
Kalau acara pernikahan atau pesta mereka pergi mengelola sagu terlebih dahulu untuk mempersiapan acaranya. Begitulah ucap om Kahar.
Pergeseran Sagu Ke-Nasi di Provinsi Maluku Utara
Mengutip, ungkapan dari dosen Fakultas Pertanian Universitas Khairun Kota Ternate, Kuat Suwarno ia mengatakan bahwa faktor yang mempengaruhui pergeseran pola konsumsi makanan pokok masyarakat Provinsi Maluku Utara dari sagu ke nasi. Umumnya, dipengaruhui tiga faktor yakni; Faktor Ekonomi, Sosial dan Budaya.
“Ia mengatakan masyarakat Maluku Utara menempatkan nasi sebagai jenis pangan yang memiliki tingkat status sosial tinggi dan wajib mengkonsumsi setiap hari. Nasi tambahnya, telah dianggap sebagai pangan masyarakat kelas menengah atas.
“Pandangan inilah yang membentuk persepsi pergeseran pola konsumsi pangan di Provinsi Maluku Utara. Peran sagu sebagai makanan pokok pertama bergeser menjadi makanan pokok kedua,” ujar Kuat.
Tambahnya, Selain faktor tersebut ia kuat mengatakan bahwa faktor ketersediaan pohon sagu yang menurun akibat alih fungsi lahan menjadi pemukiman dan lahan pertanian selama sepuluh tahun belakangan ini.
Berdasarkan hasil penelitian Fakultas Pertanian Universitas Khairun Kota ternate pada tahun 2016. Tenaga kerja pengelolaan sagu terbanyak berada pada usia 54-53 tahun atau 41,86 persen. Diikuti dengan usia 54-67 tahun sebesar 36,5 persen. Sementara pekerja berusia 26-39 tahun hanya 22, 09 persen.
Berbeda dengan pengelolaan atau pekerja sumber pangan lainnya seperti; beras yang mencapai 16,584 rumah tangga atau sekitar enam kali lipat dari pengelolaan sagu di Provinsi Maluku Utara. Ia mengatakan bahwa ketersediaan lahan sagu juga ikut mendorong tingkat konsumsi masyarakat.
Pinta Kuad. Namun, Belakangan ini, Sagu mengalami perkembangan drastis di Halmahera dan Maluku Utara pada Umumnya.
Kebangkitan Pangan Sagu di Provinsi Maluku Utara
Aktivitas masyarakat dalam pengelolaan pangan sagu akhir-akhir semakin berkembangan pesat di Provinsi Maluku Utara dengan pola dan karakter begitu meningkat.
Terbukti, dengan berbagai acara makanan pokok atau di isitilah Popeda bagi orang Halmahera bahkan Maluku Utara pada umumnya telah menghiasi meja makan disetiap hari bahkan digelar secara masal pada hari perayaan HUT Kabupaten, Idul Fitri, adha sampai dipesta Natal dibulan desember 2022 tahun ini.
Kata Om kahar, sapaan akrab paman saya yang karirnya mengelola sagu ia mengtakan bahwa pendapatan cukup lumayan dengan terbantu akses alat produksi yang dikembangkan di Halmahera Timur Maluku Utara.
Kala mau bandingkan hasil sagu, berkebun dan mengelola sagu sangat berbeda. Sagu menjanji masa depan pangan ekonomi keluarga.
Pengalaman serupa, seorang pengelola sagu di kampung Bukumatiti, kecamatan Jailolo Halmahera Barat. Pria berusia 57 tahun kerap saya disapa om Nyong.
Ia menceritakan awal usahanya dalam mengelola sagu sampai berhasil membeli mobil. Katanya, saya mulai olah satu batang sagu bekas dia beli dari warga sekampung sekitar RP. 25 juta.
Saya memulai olah satu batang sagu, dipotong sekitar 60 sentimeter. Satu batang sagu dapat 30 potongan kecil yang hasilnya 10 karung dengan harga RP. 350,000.
Dan dibenarkan oleh penyelengaraan program SSF Dan akademisi Universitas Khairun Ternate. Ucap, Sofyan Dahlan selaku, Fasilitator Program SFF Halmahera Barat tersebut, atau kerap disapa abang Sof.
Melalui Program kami, telah mendorong pemanfaatan hutan atau lahan sagu agar masyarakat pengelolaan sagu menjadi sumber pendapatan dan pangan lokal dipesisir Halmahera dan pada umumnya di Provinsi Maluku Utara.
Begitulah antusias masyarakat Maluku Utara dalam gema pangan sagu yang telah menjadi nafas, karakter dan hidup mereka pada sagu secara turun temurun. Sehingga melalui tulisan saya ini.
Semoga pemerintah pusat, provinsi sampai lokal bisa ikut andil dalam mengintervensi, berkolaborasi, mendampingi secara intens dan membuka akses seluasnya untuk pengembangan komoditi sagu secara serius dan afektif. Sehingga, lewat langka tersebut.
Kita bisa mengembangkan sagu dari hulu kehilir benar-benar terbangun untuk mendukung daya dorong kemandirian pangan Nasional ditengah krisis pangan global hari ini.
Di akhir, saya menyarankan ke pemerintah pusat bahkan daerah untuk membangun industri Sagu, dan pengelolaan pangan sagu lokal lebih maju dan modern sekaligus melibatkan perguruan tinggi dan pelaku usaha sehingga ini menjadi alternatif krisis pangan global bahkan nasional hari ini.
Bukan, malah sebaliknya sibuk dengan urusan konsolidasi politik 2024 dan merupakan hal yang subtantif demi ketahanan pangan nasional kita saat ini. (Rus)
“Rusmin Hasan adalah Penjelajah dan jurnalis lepas yang lahir di Halmahera Timur dan saat ini Bekerja di Jurnalis Sulawesi Utara”.