Editor: Tim Gawai
Pewarta: Maher Kambey
TONDANO (Gawai.co) – Benteng Moraya, merupakan salah satu objek wisata sejarah yang ada di pusat kota Tondano, belakangan ini nampak sepi pengunjung. Faktornya banyak, tapi diantaranya, tempat ini sepi pengunjung karena masih pandemi Covid-19 serta aturan pemerintah setempat yang membuatnya kurang didatangi.
Kamis (25/2) pagi tadi saya menyempatkan diri berkunjung kesana, saat tiba di lokasi memang terasa agak berbeda dari sebelumnya.
Jika sebelumnya, setiap hari lokasi wisata ini dipenuhi pelancong maupun wisatawan, kali ini memang terasa sangat berbeda. Siang itu terlihat jelas tidak ada satu pengunjung yang datang dan memasuki sampai bagian dalam.
Padahal, disitu ada pedagang yang seharian membuka kios rumah makan, jualan dan para lelaki yang mengenakan pakaian Kabasaran juga tukang potret yang rela menunggu berjam-jam hanya untuk mendapatkan pembeli atau konsumen. Entah membeli makan, minum maupun berfoto ria bersama para lelaki kekar yang memakai pakaian khas Minahasa yakni Kabasaran maupun dengan burung manguni.
Lebih kebelakang, suasana sunyi makin terasa. Biasanya saat saya berkunjung ke tempat ini sebelumnya banyak kios yang buka, namun siang tadi hanya satu yang dibuka. Alasannya jelas, kenapa? Karena pintu masuk Benteng Moraya ditutup. Belum dibuka untuk umum alias terbatas.
Tentu, dengan pemberlakuan pembatasan itulah membuat banyak kios pedagang tutup dan tidak berjualan.
Saya pun bertemu dengan seorang pedagang. Pada percakapan singkat itu, Nindi yang kesehariannya berjualan makanan dan minuman yang ada di tempat tersebut mengaku pasrah dengan keadaan sekarang.
Nindi mengungkapkan, semenjak pandemi Covid-19 melanda pengunjung yang datang sangatlah sedikit dan bahkan pernah tidak didatangi sama sekali.
“Semenjak pandemi, yah pengunjung sangat kurang. Bahkan sebelum ini pernah beberapa waktu sama sekali tidak ada pengunjung yang datang, tentu ini sangat berdampak di pendapatan kami para pedagang,” ungkapnya kepada media ini.
Bukan hanya itu, Nindi berkisah, dengan kondisi demikian tentu berpengaruh pada pendapatan mereka yang sangat menurun tidak seperti sebelumnya.
“Pendapatan jelas sangat menurun, biasa sebelum pandemi bisa dapat sehari Rp200.000 dan itu paling sedikit. Kalau banyak pengunjung bahkan sampai Rp500 ribu hingga Rp1 juta atau lebih,” terangnya.
Ia pun menambahkan di saat seperti ini, tidak banyak berharap soal pengunjung yang datang. Kata dia, jangankan datang ke sini, saat pukul 05.00 Wita sore semua pengunjung dibubarkan Satpol-PP.
“Iya sekarang ini sudah mulai ada pengunjung yang datang tapi tidak banyak seperti dulu, karena pagar yang ada di depan itu selalu ditutup makanya para pengunjung tidak sampai masuk kedalam. Belum lagi pada pukul 05.00 Wita sore semua pengunjung dibubarkan Satpol-PP,” keluhnya.
Seusai bercerita dengannya, saya pun beralih ke lokasi depan Benteng Moraya dan melihat di sudut kanan ada para lelaki yang mengenakan pakaian Kabasaran dan seorang tukang potret yang berteduh dibawah pohon sedang cengkrama satu sama lain, karena terik matahari begitu panas.
Saat bersama mereka saya pun langsung menyapa dan bergurau dengan para lelaki itu. Namun, dengan hati yang pilu melihat keadaan mereka, saya pun berniat untuk foto bersama dan nanti mengabadikannya.
Satu per satu pun saya menanyakan kabar dan keadaan mereka. Langsung saja, mereka mengeluh akan keadaan saat ini. Bahkan salah satu tukang potret menjawab dengan lantang bahwa imbas dari pandemi membuat pendapatannya menurun.
“Pengunjung memang kurang, imbasnya ke pendapatan juga. Disaat sebelum pandemi saja, banyak wisatawan yang enggan di potret apalagi saat ini, memang sangat kurang dan hampir tidak ada,” ungkap lelaki yang enggan disebutkan namanya itu.
Keluh kesah para pedagang, fotografer dan pencari nafkah di lokasi itu pun membuat saya termotivasi untuk mendoakan kondisi saat ini agar secepatnya pulih. Kasus Covid-19 segera teratasi, pemerintah diberi hikmat untuk menangani, ekonomi bisa pulih, pariwisata pun dapat kembali normal.
Usai foto bersama dan membayar jasa kepada fotografer disitu, saya pun memohon pamit dan memberi mereka penguatan agar tetap menjalani hidup dengan rasa syukur. Saya pun bergegas ke lokasi lain. (Maher Kambey)