Editor/Pewarta: Alfondswodi
BITUNG (Gawai.co) – Perlindungan pekerja awak kapal perikanan salah satu trend issue/tren isu, diperbincangkan dalam diskusi dikegiatan Festival Hak Asasi Manusia (HAM) yang digelar di Kota Bitung. Selasa (30/7/2024).
Isu itu diketahui terkait dengan Ratifikasi Konvensi ILO C 188 yang kerap disuarakan organisasi Serikat Awak Kapal Perikanan Bersatu (SAKTI) dibeberapa kesempatan baik ditingkat Nasional hingga dikanca International.
Menurut Ketua Umum SAKTI Sulut, Arnon Hiborang mengatakan ratifikasi ILO C 188, penting untuk disuarakan guna menjamin perlindungan kepada pekerja di atas kapal perikanan.
Selain itu, kata aktivis dan pejuang hak pekerja awak kapal perikanan menyatakan, selama ini hukum nasional yang ada belum cukup mampu menjawab permasalahan-permasalahan yang dialami oleh ABK yang bersumber dari kapal asing.
“Aturan hukum hanya sebatas perlindungan tenaga kerja Indonesia yang berprofesi sebagai pelaut yakni, Undang-undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Secara garis besar, ini belum mengatur atau menjawab permasalahan ABK secara komprehensif hal tersebut terbukti masih banyak pekerja diatas kapal mengalami pelanggaran HAM,” tegas Arnon dalam diskusi membahas tentang Bisnis dan HAM di sektor kelautan.
Dengan kebijakan yang belum berpihak kepada profesi yang paling tua di Republik Indonesia (pelaut) itu, Arnon mendorong kepada Komnas HAM agar ikut terlibat dalam hal ratifikasi konvensi ILO C 188.
“Saat ini profesi pelaut telah mengalami banyak ragam persoalan. Mulai dari perbudakan diatas kapal, ekosistem pesisir hilang akibat aktivitas pencemaran industri dan kriminalisasi nelayan yang membelah lingkungan. Sudah saatnya negara hadir lewat kebijakan yang berpihak,” tegasnya.
Ia menambahkan, bekerja pada sektor perikanan sebuah pekerjaan yang memiliki tingkat resiko dan bahaya tinggi. Persoalan yang paling banyak terjadi oleh ABK Indonesia adalah soal upah yang tidak diterima sesuai dengan standar.
“Upah yang jauh dari standar menjadi penyebab pelanggaran HAM yang sering terjadi oleh ABK Indonesia. Ditambah lagi Undangan-undangan yang digunakan masih bersifat umum sedangkan secara teknis belum diatur. Sehingga ini menjadi dasar kami dalam hal mendorong ratifikasi konvensi ILO C 188,” tukasnya. (*/ayw)