Bitung  

Kritik Pedas Praktisi Hukum Pasca Penetapan Tersangka Terhadap Maurits Mantiri

Praktisi hukum DR (c) Michael Remizaldy Jacobus SH MH. (foto: istimewa)

Editor/Pewarta: Alfondswodi

BITUNG (Gawai.co) — Praktisi dan ilmuwan hukum asal Kota Bitung, DR (c) Michael Remizaldy Jacobus, SH, MH menggapai penatapan hukum dalam kasus orasi politik yang dilakukan Walikota Bitung Ir. Maurits Mantir, MM tersebut.

Reaksi itu muncul setelah penetapan Tersangka (Tsk) terhadap Walikota Bitung atas dugaan tindak pidana Pasal 69 huruf c dan d UU Pilkada yang pada pokoknya terkait larangan kampanye dengan menghasut dan melakukan ancaman kekerasan akibat orasi politiknya dalam kampanye di Kecamatan Girian beberapa pekan lalu.

Jacobus secara tegas mengkritik Mantiri karena orasinya tidak etis disampaikan sebagai seorang yang menjabat Walikota Bitung.

“Menyampaikan kata-kata seruduk, bakar, ratakan dihadapan massa atau publik bagi saya adalah hal yang tidak sepatutnya disampaikan seorang Walikota. Itu pelanggaran etika,” kata Jacobus, Jumat (22/11/2023) saat dimintai tanggapan sejumlah wartawan.

Namun menariknya, menurut Advokat yang telah berkiprah selama hampir 20 tahun sebagai praktisi hukum ini, Ia tidak sependapat dengan penetapan tersangka yang dilakukan oleh GAKUMDU Bitung. Hal ini, didasari argumentasi bahwa tidak semua pelanggaran etika itu adalah tindak pidana.

Salah satu tindakan yang dilarang berdasarkan Pasal 69 huruf c UU Pilkada “menghasut”, sedangkan Pasal 69 huruf d adalah kata “ancaman kekerasan” yang mungkin saja disimpulkan sebagai perbuatan pidana yang dilakukan Mantiri.

“Menurut Pasal 246 KUHP terbaru definisi menghasut itu mendorong, mengajak, membangkitkan, atau membakar semangat orang supaya berbuat sesuatu. Sedangkan ancaman kekerasan adalah ‘penyampaian tindakan kekerasan yang akan dilakukan terhadap sesuatu atau seseorang’. Akan tetapi menurut saya kata-kata “berbuat sesuatu” atau “penyampaian tentang tindakan kekerasan” harusnya merupakan hal yang sangat clear atau terang benderang sebagai perbuatan yang negatif dan tidak multitafsir. Artinya, jika yang disampaikan sebatas kata-kata:

“seruduk, ratakan, bakar” namun tidak jelas dengan sasaran berupa objek atau subyeknya, maka menurut saya itu bukan merupakan tindak pidana melainkan perbuatan yang melanggar etika”, papar Jacobus.

Artinya, jika seseorang mengatakan didepan umum: “seruduk, ratakan, dan bakar” namun tidak menyebutkan siapa subyek yang akan diseruduk dan dibakar, dan tidak jelas apa yang akan diseruduk, dibakar, dan diratakan, maka orang-orang yang mendengar tidak akan menjadi terhasut tetapi justeru akan menjadi bingung dan bertanya-tanya siapa dan apa yang akan diseruduk, dibakar dan diratakan…??

Pemaknaan kata-kata “seruduk, ratakan dan bakar akan menjadi negatif atau akan menjadi perbuatan yang dilarang jika sasarannya jelas.
“Karena kata-kata seruduk, ratakan dan bakar baru akan memiliki makna negatif atau positif tidak bisa hanya dilihat dalam bentuk gestur tubuh dan nada suara saat mengucapkan, tetapi harus dengan sasaran yang clearly (jelas) dan tidak implisit (terselubung) atau abstrak serta tidak multitafsir.

Sebab jika seseorang menyebutkan secara eksplisi “seruduk pohon”, “ratakan tanah” dan “bakar rumput” sekalipun dengan gestur dan nada suara yang emosional, maka itu bukan tindak pidana.

“Namun, jika menyebutkan seruduk si A, bakar Gedung B, dan ratakan rumah si C, maka jelas-jelas merupakan tindak pidana”, ungkap Jacobus kepada sejumlah awak media.

Advokat yang sementara mempersiapkan ujian promosi doktor hukum di Fakultas Hukum Universitas Trisaksi ini menegaskan ada perbedaan yang jelas antara etika dan pidana, karena etika itu berputar pada persoalan prilaku yang patut dan tidak yang biasanya dampaknya abstrak, sedangkan pidana adalah kejahatan yang harus sesuatu yang dampaknya terang-benderang dan memenuhi syarat asas legalitas.

Artinya, sesuatu akan dikualifisir sebagai perbuatan pidana ketika memenuhi prinsip hukum yakni harus tertulis (lex scripta), harus ditafsirkan seperti yang dibaca (lex stricta), dan tidak multitafsir (lex certa). Dikaitkan dengan hasutan atau ancaman kekerasan, UU sudah jelas, akan tetapi perbuatan materilnya secara kasuistis harus diperjelas juga apakah memenuhi unsur sebagai kejahatan artinya ada kerusakan-kerusakan atau ada akibat-akibat negatif yangdisasar atau tidak.

“Kalau tidak jelas sasaran perbuatannya baik objek maupun subyek. Maka itu sekali lagi pelanggaran etika, dan terlalu ceroboh GAKUMDU jika menetapkan Pak Wali sebagai tersangka atas dasar pelanggaran etika,” ujarnya.

Selain itu, menurut Jacobus, seseorang ditetapkan sebagai tersangka itu karena adanya “keadaan” atau “perbuatan” pidana yang dijustifikasi atau dibenarkan oleh minimal 2 alat bukti. Jika perbuatannya hanya menyebutkan kata-kata seruduk, ratakan, bakar tanpa ada objek dan subyek jelas, maka alat bukti apa yang membuktikan kalau itu perbuatan pidana..??

“Saya malah penasaran, ahli bahasa atau ahli pidana siapa yang keterangannya bisa dijadikan alat bukti dalam penetapan tersangka Pak Maurits yang memastikan kalau kata-kata seruduk, bakar dan ratakan tanpa ada objek dan subyek yang disasar kemudian disimpulkan sebagai perbuatan pidana,” jelas Jacobus.

Selanjutnya diakhir wawancara, Jacobus menyampaikan jika alat bukti diperoleh secara tidak sah atau misalnya rekaman video diperoleh dari akun palsu, maka bagaimana itu dapat disebut sebagai alat bukti yang sah.

“Syarat alat bukti untuk menetapkan tersangka itu ada 3 (tiga) B, yakni: Bewijs minimum apakah ada minimal 2 (dua) alat bukti, Bewijsvoering, apakah alat bukti diperoleh secara sah, tidak boleh alat bukti yang diperoleh dengan cara tidak sah (unlawfull legal evidence), bukan alat bukti yang diperoleh secara ilegal atau bukti yang ternodai (tainted evidence), bukan alat bukti yang diperoleh secara melawan hukum (exclusionary rules); dan Bewijskracht, ialah memiliki nilai kuat atau relevannya alat bukti karena berhubungan erat dengan perbuatan pidana yang disangkakan. Dalam perkara ini Bewiejsvoering-nya tidak dimiliki Penyidik, kalau sumber data dari akun palsu. Bagaimana bisa sudah ditetapkan tersangka,” tanyanya.

“Saya tambahkan bahwa ini adalah pendapat murni dari sudut pandang hukum, dan untuk meluruskan jalannya penegakan hukum yang adil dan konstitusional,” pungkasnya. (*/ayw)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *