Kesenian Hasa di Masyarakat Borgo-Bowontehu Terancam Punah

Editor/Pewarta: Martsindy Rasuh

MANADO (Gawai.co) – Salah satu warisan budaya pesisir Manado, kesenian Hasa yang hidup di tengah masyarakat Borgo-Bowontehu, kini berada di ambang kepunahan. Aktivitas kesenian yang dulunya semarak di wilayah Bitung Karangria, Tumumpa, dan Sindulang kini semakin jarang terlihat. Generasi muda tampak mulai meninggalkan tradisi ini karena pengaruh modernisasi dan kurangnya regenerasi pelaku seni.

Dr. Glenie Latuni, M.Sn., seorang Budayawan, Pendidik Seni, dan Etnomusikolog di Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) Universitas Negeri Manado (Unima), menyampaikan keprihatinannya terhadap kondisi tersebut. Ia menegaskan bahwa kesenian Hasa bukan sekadar hiburan, tetapi juga simbol identitas dan nilai-nilai luhur masyarakat pesisir.

“Kesenian Hasa adalah bagian dari jiwa masyarakat Borgo-Bowontehu. Di dalamnya ada cerita, nilai kebersamaan, dan ekspresi budaya yang mencerminkan kehidupan kita di pesisir. Jika ini hilang, maka sebagian dari jati diri kita juga ikut hilang,” ujar Latuni.

Faktor yang mendorong Dr. Latuni untuk melestarikan kesenian ini antara lain kesadaran akan pentingnya menjaga identitas budaya lokal, tanggung jawab moral sebagai akademisi dan tokoh masyarakat, serta keinginannya untuk menanamkan nilai-nilai budaya kepada generasi muda.

Menurutnya, pelestarian Hasa bukan hanya tugas seniman, tetapi juga bagian dari pendidikan karakter dan pelestarian warisan budaya bangsa.

Sebagai bentuk nyata pelestarian, Dr. Latuni memprakarsai pementasan Kesenian Hasa pada awal Juli 2025 di Daseng Bitung Karangria. Kegiatan tersebut menjadi langkah awal dalam menghidupkan kembali semangat masyarakat untuk mengenal dan mencintai kesenian tradisional mereka.

Ia juga berkomitmen untuk menjadikan pementasan Hasa sebagai agenda rutin budaya di wilayah pesisir Manado.

Selain pementasan, upaya pelestarian yang digagas Dr. Latuni meliputi pendokumentasian bentuk-bentuk pertunjukan lama, pelatihan bagi generasi muda, serta kerja sama dengan lembaga pendidikan dan kebudayaan untuk memperkenalkan Hasa di ruang akademik dan komunitas seni.

Meski demikian, tantangan besar masih menghadang, seperti kurangnya minat generasi muda, minimnya dukungan pemerintah, dan terbatasnya ruang ekspresi bagi seniman lokal.

Tokoh budayawan Borgo-Bowontehu lainnya, Paulus Heydemans, turut menekankan pentingnya sinergi antarwarga dan pemerintah dalam upaya pelestarian ini.

“Kita tidak bisa membiarkan Hasa hanya menjadi kenangan. Diperlukan langkah nyata—mulai dari memasukkan kesenian ini dalam kegiatan sekolah, festival budaya, hingga dukungan finansial bagi kelompok seni lokal,” ungkap Heydemans.

Melalui kerja keras para budayawan seperti Dr. Glenie Latuni dan Paulus Heydemans, diharapkan kesenian Hasa dapat kembali hidup dan diwariskan kepada generasi penerus, bukan sekadar tersimpan dalam catatan sejarah. (Mrt)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *