Penulis: Martsindy Rasuh
(Mahasiswa Prodi Ilmu Hukum UNIMA)
TONDANO (Gawai.co) – Kasus dugaan plagiasi yang dituduhkan kepada Rektor Universitas Negeri Manado (UNIMA), Dr. Joseph Philip Kambey, kembali menjadi sorotan. Usai memenangkan gugatan di Pengadilan Negeri (PN) Tondano waktu lalu, kini perkara terkait isu yang sama kembali diuji di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Meski demikian, sejumlah indikator menunjukkan bahwa posisi rektor masih kuat — baik secara hukum, substansi, maupun preseden.
Kemenangan di PN: Indikasi Lemahnya Substansi Gugatan
Gugatan pertama yang diajukan oleh pihak penggugat di PN Tondano pada dasarnya menuding rektor melakukan plagiasi terhadap karya ilmiah berjudul “The Urgency of Digital Capital and Community Intervention in Developing the Potential of Local Superior Product for Micro, Small and Medium Enterprises (MSME)”.
Namun, dalam proses peradilan, argumentasi tersebut tidak cukup solid untuk menumbangkan rektor. Kemenangan rektor di PN menjadi indikator kuat bahwa tuduhan tersebut lebih bersifat asumtif daripada berbasis fakta hukum.
Secara hukum, kemenangan ini penting:
1. Ia menunjukkan bahwa klaim plagiasi tidak terbukti dalam konteks perbuatan melawan hukum.
2. Hakim PN tidak melihat adanya kerugian hukum yang sah yang dapat dibebankan kepada rektor.
3. Beban pembuktian yang mestinya kuat dari pihak penggugat ternyata tidak mampu menjelaskan keterkaitan antara tuduhan dan fakta.
Dengan kata lain, tuduhan plagiasi masih berada di wilayah narasi, bukan di wilayah hukum yang terbukti.
Gugatan di PTUN: Dimensi yang Berbeda, Namun Substansi Tetap Sama
Saat gugatan bergeser ke PTUN Jakarta, banyak kalangan bertanya: apakah mungkin sebuah kasus yang telah “menang” di PN justru berbalik di PTUN?
Secara teori, bisa saja terjadi karena kedua pengadilan menguji aspek yang berbeda:
– PN menguji perbuatan melawan hukum (perdata).
– PTUN menguji legalitas keputusan administrasi negara (misalnya SK pengangkatan rektor).
Namun yang perlu dipahami adalah, meski domainnya berbeda, substansi dugaan tetap sama — yaitu tuduhan plagiasi. Di sinilah posisi rektor masih sangat kuat.
Dalam banyak kasus di Indonesia, ketika substansi gugatan lemah, hasil di PN dan PTUN biasanya konsisten. Ada sejumlah contoh di mana pihak yang menang di PN juga menang di PTUN karena tuduhan pada dasarnya tidak didukung bukti kuat dan tidak memenuhi unsur administratif sebagai pelanggaran hukum. Preseden seperti ini justru memperkuat posisi rektor UNIMA.
Preseden Kasus Serupa: Konsistensi Putusan PN dan PTUN
Beberapa kasus di Indonesia menunjukkan bahwa ketika substansi inti gugatan lemah, pengadilan negeri maupun PTUN cenderung menghasilkan putusan yang konsisten.
Contoh kasus:
1. Sengketa jabatan struktural di sejumlah instansi pemerintah, di mana terdakwa menang di PN karena tuduhan tidak terbukti, dan kemudian PTUN juga menolak gugatan karena tidak ada cacat administrasi.
2. Kasus akademik pada beberapa perguruan tinggi negeri, di mana tuduhan pelanggaran etik tidak terbukti sehingga tidak menjadi dasar pembatalan SK di PTUN.
3. Sengketa pelanggaran akademik di LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan) juga menunjukkan pola kemenangan ganda (PN dan PTUN) ketika bukti pelanggaran tidak kuat secara ilmiah.
Preseden ini relevan karena dugaan kasus rektor UNIMA memiliki pola yang sama: tuduhan yang tidak berhasil dibuktikan secara kuat di lembaga peradilan pertama.
Mengapa Posisi Rektor UNIMA Tetap Kuat di PTUN?
Ada beberapa alasan logis:
1. Substansi Dugaan Tidak Terbukti di PN
Meski PTUN menilai aspek administratif, pengadilan tetap membutuhkan dasar kuat bahwa seorang rektor benar-benar melakukan pelanggaran etik akademik. Jika tuduhan itu sendiri lemah, basis gugatan administrasi ikut rapuh.
2. SK Pengangkatan Tidak Otomatis Cacat Hukum
Agar PTUN membatalkan SK, harus dibuktikan bahwa keputusan itu diterbitkan berdasarkan informasi menyesatkan atau melawan hukum. Sampai saat ini, tidak ada bukti objektif bahwa plagiasi benar-benar terjadi.
3. Kompetensi Akademik Rektor Tidak Diruntuhkan oleh Tuduhan Semata
Rektor UNIMA memiliki rekam jejak akademik dan administratif yang panjang. Menyangga sebuah tuduhan tanpa bukti kuat bukanlah standar hukum untuk membatalkan jabatan publik.
4. Tidak Ada Putusan Kode Etik Akademik Internal yang Menyatakan Plagiasi
Biasanya dalam kasus plagiasi, lembaga internal seperti senat atau komite etik universitas melakukan pemeriksaan. Bila tidak ada pembuktian internal, PTUN tidak memiliki dasar yang cukup untuk memutuskan adanya cacat administrasi.
Ilustrasi Sederhana agar Publik Mudah Memahami
Bayangkan seseorang dituduh mencuri. Ia dibawa ke pengadilan pidana, diperiksa, dan hakim menyatakan ia tidak terbukti bersalah. Kemudian, orang yang sama digugat lagi ke pengadilan yang berbeda dengan alasan “karena ia mencuri, maka SK pengangkatannya sebagai pejabat harus dibatalkan.”
Masalahnya:
Jika “mencurinya” saja tidak terbukti, bagaimana mungkin membatalkan SK berdasarkan sesuatu yang tidak terbukti?
Inilah analogi paling tepat untuk memahami posisi rektor UNIMA.
Menata Narasi Publik dan Menjaga Marwah UNIMA
Isu plagiasi adalah isu sensitif, apalagi jika melibatkan rektor. Namun, masyarakat akademik perlu bersikap objektif. Proses hukum sedang berjalan, dan rektor berhak mendapatkan perlindungan hukum sampai ada putusan final yang menyatakan sebaliknya.
Kita harus ingat:
Tuduhan adalah tuduhan, bukan kebenaran hukum. Kemenangan di PN adalah sinyal kuat bahwa tuduhan tidak berdasar. Gugatan kedua berpotensi besar mengikuti arah putusan pertama. UNIMA sebagai institusi harus dijaga dari gejolak narasi tanpa bukti.
Kesimpulan
Kasus plagiasi terhadap rektor UNIMA saat ini berada pada ujung proses hukum yang lebih menilai aspek administratif. Namun melihat substansi, preseden, logika hukum, serta kemenangan sebelumnya di PN, posisi rektor masih sangat kuat.
Sebagai mahasiswa hukum UNIMA, saya melihat bahwa proses hukum ini penting untuk menegaskan transparansi, tetapi kita juga harus melindungi marwah akademik dari narasi yang tidak berdasar.
PTUN boleh melanjutkan persidangan, tetapi publik perlu tahu: kemenangan rektor di PN bukanlah kebetulan, melainkan cermin lemahnya substansi tuduhan. Dan sejarah hukum menunjukkan, dalam kasus seperti ini, PTUN cenderung menguatkan, bukan membalikkan fakta. (*)

















