Stop Jangan Bodohi Kami” – Suara Hati Warga Huntuk Menjaga Tanah Adat Leluhur Bintauna

pewarta: Rendi Pontoh

Boltara – Terik matahari belum sepenuhnya mencapai puncaknya saat ratusan warga Desa Huntuk, Kecamatan Bintauna, mulai berkumpul di pelataran lokasi tambang rakyat. Suara tabuhan bambu berpadu dengan sorakan penuh semangat: “Tolak koperasi dari luar! Tanah ini milik rakyat Huntuk (Bintauna)

Di antara kerumunan itu, berdiri tegap seorang pria paruh baya dengan suara lantang dan mata yang penuh keyakinan. Wuldes Takahindangen, Ketua Badan Pengawas Adat (BPA) Huntuk. Ia tak hanya berbicara atas nama dirinya, tapi atas nama sejarah, adat, dan masa depan desanya.

“Kami bukan untuk dibodohi. Jangan bawa nama Presiden untuk menipu kami. setahu kami hanya Gubernur YSK yang menentukan itu. Kami punya koperasi sendiri, dan semua struktur itu asli orang pribumi (Huntuk). Kami tahu siapa yang benar-benar peduli. kami murni ingin menjaga tanah adat Vintauna, mosombokoso monompia no lipu (bahasa bintauna) yang artinya Bersatu membangun kampung,”tegas Wuldes, yang disambut pekikan “Setuju!” dari massa yang berdiri sambil memegang kertas tulisan penolakan.

Tambang Bukan Sekadar Emas

Bagi orang luar, lahan tambang di Huntuk mungkin sekadar komoditas. Tapi bagi warga setempat, tanah itu adalah warisan, nadi kehidupan, dan sumber harapan generasi mendatang. Sudah bertahun-tahun mereka berjuang membentuk koperasi lokal, sebuah inisiatif dari rakyat untuk rakyat, yang lahir dari semangat gotong royong dan kearifan lokal.

“koperasi lokal ini simbol perjuangan kami. Kami tidak ingin tanah kami dikelola oleh orang yang tidak mengenal budaya kami, tidak memahami nilai tanah ini,” ujarnya

Mencurigai Nama Besar yang Dicatut

Aksi protes ini dipicu oleh munculnya informasi bahwa ada koperasi dari luar yang mengklaim membawa mandat dari pejabat tinggi—bahkan disebut-sebut mengatasnamakan Gubernur dan Presiden Prabowo. Klaim ini bukan hanya menyinggung logika, tetapi juga menggugah emosi masyarakat yang merasa identitas dan martabat mereka sedang diuji.

“Kami tidak buta. Jangan kira rakyat desa gampang dibujuk. Jangan datang tiba-tiba dan sok pahlawan. Ini tanah kami. Ini hidup kami,” ujar Nawir seorang pemuda desa yang turut berdiri di barisan depan aksi.

Lebih dari Sekadar Penolakan

Aksi ini bukan sekadar penolakan terhadap koperasi luar, tapi juga pernyataan identitas. Bahwa masyarakat Huntuk ingin berdiri di atas kaki sendiri, ingin agar sumber daya dikelola secara adil dan bijak oleh orang-orang yang benar-benar memahami kebutuhan dan nilai lokal.

“Kami tidak menolak perubahan. Tapi perubahan itu harus datang dari dalam. Bukan dipaksakan dari luar, apalagi dengan modus yang mencurigakan,” ungkap Wuldes, dengan nada tegas.

Pesan dari Pedalaman Bintauna

Hari itu, Desa Huntuk bersuara. Suara yang datang dari tanah yang sunyi, namun kini menggema jauh ke pusat kekuasaan. Mereka ingin dunia tahu, bahwa di ujung Bintauna, ada rakyat kecil yang tidak mau lagi dibohongi. Mereka mungkin sederhana, tapi tidak bodoh.

Dan lewat koperasi lokal yang dibentuk dengan pengurus asli dari Bintauna, mereka ingin buktikan: pengelolaan sumber daya bisa berjalan adil dan berdaulat—selama niatnya bersih dan berpihak pada rakyat.
Suara warga Huntuk adalah pengingat bahwa pembangunan sejati bukan tentang siapa yang paling kuat atau siapa yang membawa nama besar. Tapi tentang siapa yang benar-benar hadir, mendengar, dan peduli. (rp)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *