Bitung  

Dr Michael Remizaldy Jacobus SH MH Apresiasi Langka Prabowo Atas Abolisi dan Amnesti dari ‘Peradilan Sesat’

Dr Michael Remizaldy Jacobus SH MH (foto: istimewa)

Editor/Pewarta: Alfondswodi

BITUNG (Gawai.co) – Dr Michael Remizaldy Jacobus SH MH, menanggapi proses Abolisi dan Amnesti terpidana Tom Lembong dan Hasto Kristianto dalam kasus tindak pidana korupsi (Tipikor). Minggu (03/08/2025).

Menurut advokat potensial lulusan Doktoral Ilmu Hukum Universitas Trisakti ini, menyatakan peringatan bagi Aparat Penegak Hukum agar tidak tersesat dengan menjadikan hukum sebagai alat politik, karena sedangkan Bintang dilangit boleh jatuh apalagi Cuma Bintang dibahu.

Kasus Tom Lembong jelas tidak ditemukan adanya niat jahat mens rea untuk memperkaya atau menguntungkan diri sendiri atau subyek hukum lainnya. Sedangkan, Hasto Kristianto dituduh menyediakan uang suap sebesar Rp. 400juta dalam kasus Harun Masiku, hanya atas dasar keterangan dua orang saksi dan percakapan whatsapp saksi kedua saksi tersebut.

“Alat bukti yang menunjukan mens rea Tom Lembong tidak ada, sebaliknya Hasto Kristianto dinyatakan bersalah atas dasar keterangan dua orang saksi dan percakapan whatsapp kedua saksi tersebut tanpa ada alat bukti lain yang mengkonfirmasi fakta apa benar uang itu dari Hasto. Nah, ketika peradilan menyatakan mereka bersalah, menurut Saya, ini adalah peradilan sesat atau dalam istilah Belandanya disebut Rechterlijke Dwaling”, ucap Jacobus.

Salah satu the best lawyer Sulawesi Utara yang saat ini menjadi Ketua Tim Penasihat Hukum Ketua Sinode GMIM Pdt. Hein Arina, Th. D dan mantan Kepala BKAD Provinsi Sulut Jeffry R. Korengkeng, SH, M.Si memaparkan bahwa Pasal 183 KUHAPidana mensyaratkan untuk menyatakan seseorang bersalah adalah sekurang-kurangnya dua alat bukti dimana berdasarkan alat bukti tersebut hakim meyakini kesalahan terdakwa, maka barulah diputuskan seseorang bersalah.

“Menurut ketentuan tersebut, keyakinan hakim bukanlah hal yang hadir tiba-tiba, melainkan dibangun atau dikonstruksikan oleh sekurang-kurangnya dua alat bukti. Artinya, tanpa bukti hakim tidak bisa mengadili berdasarkan keyakinan semata. Dan pengertian sekurang-kurangnya dua alat bukti dalam Pasal 183 KUHAPidana seharusnya dimaknai sekalipun sudah ada 2 alat bukti misalnya 2 orang saksi dan bukti whatsapp 2 orang saksi tersebut,” katanya. Sabtu (02/08/2025).

Lebih lanjut kata Jacobus, “Maka menurut Saya ini belum cukup untuk mengkonstruksikan fakta. Karena keterangan 2 orang saksi dan percakapan whatsappnya tidak bisa berdiri sendiri tanpa ada alat bukti lain yang sinkron dengan dengan tuduhan. Jadi bila terdapat alat bukti saksi dan percakapan WA, namun tidak terhubung dengan fakta kejahatan misalnya dalam kasus Hasto terkait sumber uang suap, maka keterangan saksi dan WA hanya berdiri sendiri dan tidak patut menjadi dasar dalam membenarkan suatu fakta. Itulah sebabnya, jika prinsip-prinsip ini dilanggar, maka itulah peradilan sesat (miscarriage of justice),” ujar Jacobus.

Advokat yang menyelesaikan disertasinya dibidang tindak pidana korupsi tersebut berpendapat bahwa abolisi dan amnesti terhadap Tom Lembong dan Hasto Kristianto adalah bentuk penyelamat terhadap peradilan sesat (Rechterlijke Dwaling).

“Abolisi dan amnesti seharusnya tidak diperlukan jika Peradilan menjadi tempat ditemukannya keadilan. Jika aparat penegakan hukum berjalan normal, tidak seharusnya ada abolisi dan amnesti, karena Tom Lembong dan Hasto seharusnya bebas,” tandasnya.

Seraya menambahkan, “Langkah Presiden Prabowo merupakan bentuk penyelamatan terhadap rechterlijke dwaling (peradilan sesat) dan penegakan hukum yang upnormal (tidak normal). Fakta ini peringatan bagi Aparat Penegak Hukum agar tidak tersesat apalagi menggunakan hukum sebagai alat politik, karena sedangkan Bintang dilangit boleh jatuh apalagi Cuma Bintang dibahu”, pungkasnya sambil tersenyum lebar. (*/ayw)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *