Hanya Meneruskan Pesan Kakek”: Kisah Bupati Boltara yang Jadi Ayah Teladan Sebelum GATI Dicanangkan

Pewarta: Rendi Pontoh

BOLTARA (Gawai.co) – Suara azan subuh baru saja berkumandang ketika Sirajuddin Lasena (SJL) membangunkan anak keduanya. Hari itu, Minggu (13/6/25), ia akan mengantarkan sang anak ke Pondok Pesantren Hubulo, Gorontalo—perjalanan hampir 4 jam dari Bolaang Mongondow Utara (Boltara). Sebelum berangkat, ia memeluk erat anaknya, berbisik: “Sholatlah, semua urusan pasti mudah. Selamat berjuang Nak, sampai dunia tak lagi mencibirmu.”

Kalimat itu bukan sekadar nasihat. Itu warisan dari Ayahnya, pesan turun-temurun yang kini ia teruskan. Tanpa disadari, momen itu justru menjadi simbol langkah nyata melawan fatherless—isu yang belakangan mengemuka di Indonesia.

Ayah yang Hadir, Bukan Hanya Ada

SJL mungkin tidak menyangka, tindakannya sehari sebelum Gerakan Ayah Teladan Indonesia (GATI) resmi diluncurkan (14/7/25) justru menjadi contoh nyata. Gerakan ini—dicanangkan melalui Surat Edaran Kemendukbangga/BKKBN Nomor 7 Tahun 2025—bertujuan mengatasi krisis fatherless, di mana 20,9% anak Indonesia tumbuh tanpa figur ayah (data BKKBN-UNICEF).

“Tidak perlu menunggu surat edaran untuk menjadi ayah yang terlibat,” kata SJL ketika ditemui media ini. “Ini tanggung jawab moral, bukan sekadar kewajiban administratif.”

Unggahannya di media sosial viral. Tampak foto dirinya memegang bahu anaknya, seragam pesantren masih rapi, matanya berbinar. Beberapa kepala OPD Boltara juga turut mem-posting gerakan ini sembari mengkampanyekan GATI.

GATI: Antara Harapan dan Tantangan

Gerakan GATI mewajibkan ASN mengantar anak di hari pertama sekolah (PAUD-SMA) dan kembali ke kantor sebelum pukul 12.00 WIB. Presensi dibuktikan dengan kode RL dan unggahan foto. Aturan ini menuai pro-kontra.

“Bagus, tapi jangan sekadar seremonial,” kata Vega Talibo, psikolog Boltara. “Kedekatan ayah-anak harus dibangun setiap hari, bukan hanya di hari pertama sekolah.”

Pesan dari Kakek yang Masih Bergema

Ketika ditanya apa motivasinya, SJL mengisahkan pesan Ayahnya—seorang ulama di Boltara—yang selalu menekankan: “Jadilah ayah yang hadir, bukan hanya yang menafkahi. Meski disela pekerjaan yang menumpuk di pemerintahan menyempatkan diri untuk mengantar anak adalah satu kewajiban.

“Anak saya mungkin tidak ingat semua nasihat saya, tapi ia akan ingat bahwa saya ada di sana, mengantarnya di hari penting,” katanya.

Kini, saat GATI mulai bergulir, Boltara sudah satu langkah lebih depan. Tantangannya? Memastikan gerakan ini tidak sekadar jadi trending topic, tapi benar-benar mengubah pola pikir. (rp)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *