Editor/Pewarta: Maher Kambey
BEKASI (Gawai.co) – Dalam menghadapi tantangan kerukunan antara umat beragama di Indonesia, dibutuhkan upaya bersama dalam menyuarakan toleransi, dialog antaragama dan perdamaian dalam bingkai kebhinekaan.
Menanggapi tantangan ini, Komunitas Literasi Aksara Pinggir ikut serta dalam Seminar Kebhinekaan dengan tajuk “Toleransi Beragama, Berbudaya dari Sudut Pandang Ajaran Islam,” di SMA Pangudi Luhur II Servasius, Bekasi, Jawa Barat, Jumat (15/12/2023).
Seminar ini diikuti para santri dari Aksara Pinggir yang dipandu Eko Prapanto, berbaur bersama 500 siswa dari berbagai latar belakang agama.
Mereka berbagi pandangan tentang toleransi beragama dan pengalaman ketika berinteraksi dengan orang-orang yang memiliki latar belakang yang berbeda.
Pendiri sekaligus pengasuh Aksara Pinggir, Heriyono Tardjono, yang hadir sebagai narasumber utama dalam seminar tersebut memaparkan perspektif Islam terkait toleransi umat beragama di Indonesia. Heri memulai paparannya dengan menjelaskan masuknya Islam di Indonesia.
Islam, kata Heri, masuk ke Nusantara dengan jalan damai, yakni perdagangan, perkawinan, Pendidikan dan Tasawuf.
Oleh karena itu, Islam di Indonesia atau dikenal sebagai Islam Nusantara menurut dia seharusnya tidak bersikap keras mengingat Islam masuk ke Nusantara dengan penuh kasih sayang dan perdamaian.
“Dalam sejarah Islam di Indonesia, tidak pernah ada catatan tentang perang sebagai cara masuknya Islam ke dalam negeri ini. Sebaliknya, Islam tiba di sini dengan penuh kasih sayang dan perdamaian,” ujar Heri.
Islam yang Rahmatan lil’ Alamin Heri mengatakan, pandangan mayoritas Islam di Indonesia tidak terlepas dari cinta tanah air sebagai bagian dari iman.
Ia merujuk pada gagasan “hubbul wathani minal iman” yang dicetuskan oleh ulama besar Indonesia sekaligus pendiri Nadhatul Ulama (NU), KH. Hasyim Asy’ari.
Mengutip gagasan tersebut, Heri menegaskan bahwa iman umat Islam ditunjukkan dengan kecintaannya terhadap tanah air.
Hal ini, kata Heri, juga menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang rahmatan lil alamin, yang harus dijaga oleh umat Muslim di Indonesia.
“Oleh karena itu, menjadi concern kami orang-orang Muslim yang ada di Indonesia ini untuk tetap memastikan bahwa Islam yang berkembang di Indonesia adalah Islam yang Rahmatan lil’ Alamin, Islam yang memiliki kasih sayang bagi seluruh umat manusia dan alam,” tuturnya.
Lebih lanjut, Heri mendeksripsikan prinsip-prinsip Islam yang dianut oleh mayoritas masyarakat Muslim di Indonesia.
Pertama adalah Tawassuth, yakni bersikap tenang dan moderat ketika melihat sesuatu, tidak mudah menyalahkan dan tidak mudah menjustifikasi.
Prinsip kedua adalah Tawazun, yakni mempertimbangkan, menimbang-nimbang dalam merespon suatu peristiwa dan perkara dengan menimbang baik-buruknya.
Prinsip ketiga adalah Tasamuh atau prinsip toleransi terhadap orang-orang yang memiliki keyakinan yang berbeda.
Berikutnya adalah amar ma’ruf nahi munkar artinya menolak kemungkaran dan mengajak pada kebaikan.
“Oleh karena itu, tidak asing bagi teman-teman ketika teman-teman natalan yang berjaga adalah komunitas Muslim dan ketika kami lebaran yang mengirimkan makanan adalah komunitas Katolik, Kristen dan sebagainya,” ujar Heri yang pernah menjadi santri di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, ini.
Menurut Heri, komunitas Muslim yang seperti inilah yang banyak ditemukan di Indonesia, sehingga bersama-sama dengan komunitas Katolik, Kristen dan komunitas agama lainnya dapat berkontribusi dalam membangun bangsa.
“Mereka inilah saudara-saudara Anda yang nantinya berpegangan tangan dengan Anda
untuk membangun peradaban yang lebih maju untuk Indonesia,” tegas Heri.
Ia pun berpesan kepada para siswa SMA Pangudi Luhur II Servasius agar memupuk semangat kebangsaan dan menjaga kerukunan meskipun berbeda dalam keyakinan.
“Saya melihat di muka mereka (siswa-siswi, red) pengambil Keputusan penting di negeri ini.
Saat ini saya melihat bukan anak-anak SMA Pangudi Luhur, tetapi saya melihat yang duduk di depan saya adalah mereka yang akan membentuk sejarah bangsa Indonesia ke depannya,” seru Heri.
Perbedaan Bukan Sebagai Pemisah Bagi Anak Bangsa Pihak SMA Pangudi Luhur II Servasius menyambut baik kehadiran para santri Aksara Pinggir.
Kepala Sekolah Pangudi Luhur II Servasius, Br. Yosep Anton Utmiyadi, FIC., S.S mengatakan, seminar ini menjadi kesempatan untuk saling berbagi pengalaman tentang toleransi beragama.
“Kita belajar bersama mendengarkan, sharing hal baik dari narasumber dan santri juga santriwati (Aksara Pinggir, red). Berharap menjadi bekal yang baik bagi kita semua,” kata Yosep.
Menurutnya, kegiatan semacam ini menunjukkan bahwa perbedaan bukan sesuatu hal yang memisahkan, tetapi perbedaan itu mempersatukan.
Hal ini, kata dia, secara lugas dinyatakan dalam semboyan bangsa Indonesia “Bhineka Tunggal Ika.”
“Kita punya Indonesia, harus bersyukur tentang kebhinekaan ini. Mari kita bersatu memajukan Indonesia,” ujarnya.
“Semoga dengan kehadiran teman-teman dari pondok ini (Aksara Pinggir) membuat kita belajar untuk tidak tersinggung (dengan perbedaan, red). Tuhan memberkati,” tutup Yosep. (Mhr)