Editor/Pewarta: Indra S. S. Ketangrejo
BOLMONG (Gawai.co) – Ki Sinungkudan (pemangku adat tertinggi) di Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong) Yasti Soepredjo Mokoagow dianugerahi gelar adat “Bogani Ki Yasti”
Gelar Bogani yang disematkan kepada Bupati Bolmong Yasti Soepredjo Mokoagow, Senin (21/3/2022), di Rudis Bupati Bolmong ini merupakan gelar pemimpin kelompok masyarakat Mongondow dahulu.
Dipercantik dengan Tapaluk (simbol pakaian yang biasa digunakan oleh para bogani perempuan), dipakai oleh Yasti Soepredjo Mokoagow saat menerima gelar adat tersebut.
Penganugerahan gelar adat “Bogani Ki Yasti” itu diberikan karena sebelumnya ia telah berkontribusi besar bagi pembangunan masyarakat di Bolmong.
Mulai dari menjabat ketua Komisi V DPR RI, hingga menjabat Bupati Bolmong. Dalam masa kepemimpinannya juga, Yasti bisa membawa perubahan dalam kemajuan Bolmong.
Diantaranya, hadirnya Kawasan Industri Mongondow (KIMONG), Pembangunan Bandara Loloda Mokoagow, Pembangunan Waduk Pindol, Terminal Tipe A Lolak, serta pembangunan lainnya yang terus dimaksimalkan hingga sekarang.
Menilai atas dedikasi Bupati Yasti Soepredjo Mokoagow yang tulus ikhlas membangun daerah Bolaang Mongondow, pemangku-pemangku adat bersepakat memberikan gelar adat kepada Yasti Soepredjo Mokoagow sebagai “Bogani Ki Yasti”.
Sebelumnya, membahas hal itu, sebanyak 15 Kecamatan yang tersebar di Kabupaten Bolmong secara serentak menggelar musyawarah adat (mobakid) Jumat (18/03/2021) pekan lalu.
Dipimpin langsung pemangku adat di kecamatan, melekat ke camat di masing-masing kecamatan. Musyawarah mobakid itu sendiri, melibatkan semua perwakilan lembaga adat di 200 desa dan dua Kelurahan di Kabupaten Bolmong.
Melalui musyawarah mobakid itu, mereka sepakat, pemberian gelar adat “Bogani Ki Yasti” kepada Ki Sinungkudan di Kabupaten Bolmong Yasti Soepredjo Mokoagow.
Menurut tokoh adat Bolmong juga Ketua Lembaga Warisan Budaya Bolaang Mongondow Raya (LWB_BMR) Chairun Mokoginta, sebelum pelaksanaan pemberian adat kepada pemangku adat tertinggi melekat ke Bupati Bolmong Yasti Soepredjo Mokoagow, tahapannya didahului musyawarah mobakid di wilayah.
“Hasil kesepakatan musyawarah mobakid tersebut diteruskan ke kabupaten untuk ditindaklanjuti oleh pemangku adat dalam pemberian gelar,” katanya.
Dijelaskan, dalam tradisi Bogani ada empat kriteria yakni mokodotoy, mokorakup, mokodiya dan mokoangak. Ia menjelaskan, makna kata Mokodotoy dalam istilah keren saat ini berjiwa patriotis dimana mempunyai kemampuan, memberikan rasa nyaman aman dan bisa menjaga kawasan atau wilayah dari serangan luar.
Makna Mokorakup adalah orang selalu berfikir nasib dari semua anggota masyarakat dan mampu mengayomi anggota masyarakatnya.
Kemudian, makna Mokodiya ialah orang yang mampu menerapkan berbagai sanksi – sanksi adat atau ketentuan – ketentuan adat. Artinya seseorang yang memiliki pengetahuan tentang adat dan mampu menerapkannya tanpa terkecuali meski terjadi pada lingkungan keluarga sendiri.
Dan yang terakhir kata Chairun, makna mokoangak dimana mokoangak tersebut terbagi menjadi dua pertama mokoangak dalam sikap dan perilaku dan kedua mokoangak dalam hal penampilan.
“Sehingganya baju yang dipakai oleh Bogani Ki Yasti, tampilannya berbeda. Yang dipakai Tapaluk tadi,” ungkap Chairun.
Sebelumnya, beberapa waktu lalu Chairun menjelaskan, pakaian Tapaluk yang digunakan oleh Yasti terdapat beberapa bagian, yakni bagian kepala disebut Papodong, yang diikat pada lengan tangan adalah Batakan, kain melingkari tubuh disebut Bandang, pada pinggang disebut Bongkol. “Yang di tangan itu Pateda namanya, ada juga Lingkit digantung di lengan,” jelasnya.
Dalam pemberian gelar adat, Yasti pun harus mengikuti beberapa prosesi adat. Seperti prosesi Molumbat yang merupakan permohonan doa untuk membersihkan diri dari keburukan pada diri seorang calon penerima gelar adat. Selanjutnya, penyerahan Kokaloi yang diyakini sebagai simbol kekuatan dan ketangkasan seorang Bogani.
Dilanjutkan pemasangan Bulambulan Papodong oleh tokoh wanita pemangku adat, dan digiring untuk melewati Sinsing Taigan atau simbol kepatuhan terhadap norma-norma adat istiadat yang berlaku di Bolmong.
Dan yang terakhir dipersilahkan duduk di Upuan atau Kolatag (dimaknai sebagai tempat duduk kehormatan). Setiap aksesoris yang digunakan di Kolatag seperti kain-kain mempunyai arti masing-masing.
Chairun menjelaskan, aksesoris yang ada di Kotalag, seperti kain sikayu momobatunan artinya, harus saling mengangkat membantu menasehati ke hal-hal baik, untuk kebaikan semua makhluk hidup.
Sedangkan untuk kain yang menjadi pengalas tempat duduk di kolatag adalah kain kinatola, obat atau mayana motif ini ditujukan supaya orang yang duduk akan selalu sehat dan dijauhkan dari segala macam penyakit, motifnya juga diketahui, khusus untuk wanita.
Sedangkan untuk belakang kursi kolatag yang berwarna kuning, merupakan simbol dari cahaya. Sehingga, orang yang duduk akan selalu mendapat cahaya yang terang.
Dan yang paling khusus adalah kain antik turia’ sangat diagungkan. Karena yang bermotif-motif hijau itu merupakan yang paling sakral.
“Jadi, kain ini hanya digunakan di kalangan yang berdara biru. Dan tidak sembarang orang yang boleh menggunakannya,” ujar Chairun.
Kain turia’ itu juga kata Chairun, sudah berusia hampir 400 tahun. “Kain itu merupakan kain (pinogama ki buloi Antong tangoinya ki Lalara, yang berasal dari Spanyol,” ujarnya.
Usai dianugerahi gelar “Bogani Ki Yasti” Bupati Bolmong Yasti Soepredjo Mokoagow secara pribadi, keluarga, dan pemerintah kabupaten Bolmong menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh masyarakat Bolmong.
Teristimewa kata dia, kepada seluruh tokoh-tokoh adat, sangadi, BPD, yang sudah memberikan gelar adat sebagai “Bogani Ki Yasti” tentu ini merupakan penghormatan dari masyarakat kepada dirinya.
“Ini adalah amanah dari masyarakat, alhamdulilah saya terima dengan baik, dengan senang hati. Dan tentu kedepan wajib bagi saya, di manapun saya berada, untuk tetap menghormati dan melestarikan nilai-nilai luhur budaya Bolmong,” tegasnya.
Yasti menjelaskan, adalah kewajiban baginya untuk memajukan Bolmong, istimewanya setiap anak Bolmong harus dibantu, sesuai dengan kapasitas dan kemampuannya.
Agar supaya kata Yasti, anak-anak orang mongondow yang dimaksudkan adalah seluruh masyarakat Bolmong dengan berbagai macam suku, ras, dan agama itu adalah orang mongondow.
Karena ucap Yasti, dimana bumi kita pijak, disitu langit kita junjung. Jadi, setiap anak mongondow entah itu dari suku apapun, agama apapun yang sudah lahir, besar, kawin-mawin dengan orang mongondow, itu semua orang mongondow.
“Tentu menjadi kewajiban bagi saya sesuai, dengan kemampuan saya, untuk kita sama-sama saling memajukan. Insyah Allah, amanah ini saya akan jaga dengan sebaik-baiknya,” tutupnya. (Advetorial)