Serapan Kredit Usaha Perikanan Tangkap Masih Rendah

Ilustrasi usaha perikanan tangkap skala kecil. (doc.foto: Gawai.co)

NASIONAL (Gawai.co) – Peningkatan sektor Perikanan menjadi perhatian lembaga Nasional Destrutive Fishing Watch (DFW) Indonesia.

Pasalnya, menurut Koordinator Nasional DFW Indonesia, Moh Abdi Suhufa melalui releasenya kepada awak media Gawai.co, menyampaikan Pemerintah Indonesia perlu meningkatkan alokasi dan serapan kredit usaha perikanan tangkap skala kecil.

“Hingga saat ini, jumlah dan komposisi perikanan skala kecil sudah mencapai pada angka 99% dari total armada tangkap. Namun perlu di ingatkan usaha perikanan skala kecil sangat rentan terhadap fluktuasi hasil tangkapan, mutu, harga jual dan musim serta perubahan iklim” kata Moh Abdi Suhufa. Rabu (22/12).

Selain rentan akan fluktuasi kata koordinator Nasional WDF Indonesia, kelompok usaha skala kecil dewasa ini, mengalami pertumbuhan yang lambat dibandingkan sub sektor lainnya seperti budidaya dan pengolahan hasil perikanan.

“Sehingga untuk dapat mendongkrak pertumbuhan usaha perikanan skala kecil, perlu adanya pembiayaan yang berkelanjutan untuk menopang usaha mereka” tandas Abdi.

Pemerintah melalui sektor perikanan hingga September 2021, melalui serapan Kredit Usaha Rakyat (KUR) telah terjadi peningkatan, akan tetapi serapan untuk usaha perikanan tangkap masih saja kecil.

“Dari Rp 5,98 triliun KUR perikanan yang tersalurkan, hanya 1,3 triliun yang diserap oleh usaha perikanan. Padahal usaha perikanan tangkap membutuhkan modal untuk mendukung kegiatan penangkapan seperti, membuat kapal baru dan membeli alat tangkap mengantisipasi sistim kontrak yang akan diberlakukan tahun depan” katanya.

Tak hanya itu, Nasional WDF Indonesia hingga saat ini terus memonitoring terhadap penyaluran kredit oleh Lembaga Pengelola Modal Usaha Kelautan dan Perikanan (LPMUKP). Dalam periode 2017-2019 dari Rp 409 miliar kredit yang disalurkan, hanya Rp 144 miliar atau 35% yang diserap oleh usaha perikanan tangkap.

“Penyaluran KUR dan kredit LPMUKP masih sangat kecil dibanding kebutuhan usaha, dan jumlah calon pemanfaat, skema KUR dan LPMUKP merupakan harapan pelaku usaha tangkap skala kecil dalam mengakses kredit. Pola ini harus berubah jika KKP serius memberikan perhatian dan memajukan usaha perikanan tangkap skala kecil” kata Abdi.

Pihaknya pun menyoroti proses dan mekanisme kredit LPMKUP yang terkesan prosedur serta birokrasinya lama, kata Abdi salah satu contohnya usaha perikanan tangkap dampingan kami di Bitung sudah 13 bulan mengajukan pinjaman belum berhasil mendapatkan kredit LPMUKP.

Sementara pelaku usaha tersebut membutuhkan tambahan modal hingga Rp 500 juta untuk menyelesaikan pembuatan kapal penangkap ikan ukuran 28GT. Pihaknya pun meminta agar manajemen LPMUKP perlu dibenahi agar penyaluran kredit kepada pelaku usaha perikanan dapat dipercepat.

“Untungnya daya tahan pelaku usaha perikanan tangkap skala kecil sangat tinggi karena dapat bertahan menunggu kredit 13 bulan yang tidak kunjung cair” kata Abdi

Hal senada di Kalimantan oleh salah satu Peneliti DFW Indonesia, Muh Arifudin menyampaikan keberpihakan KKP terhadap pelaku usaha perikanan skala kecil, menjadi sorotan saat memperkenalkan konsep sistim kontrak dan memberikan prioritas kepada usaha skala korporasi.

“Harapannya KKP tidak meninggalkan dan memprioritaskan nelayan kecil dalam penyediaan dan akses kredit. Dari 3 juta pelaku usaha perikanan, 60% dalam fase penumbuhan usaha, dan hanya 5% yang potensial mendapat kredit mikro dari BLU” katanya.

Langka antisipasinya, kata Arif pemerintah perlu menambah alokasi dan serapan kredit mikro dan KUR untuk usaha perikanan dan kelautan sebesar Rp 10 triliun.

Dari Rp 10 triliun, usaha perikanan tangkap skala kecil saat ini membutuhkan kredit 5 triliun. Ini penting agar usaha perikanan tangkap skala kecil bisa berkembang dan menjadi harapan nelayan Indonesia” pungkasnya. (***)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *