LPPN Tolak Wacana Pajak Sembako dan Pendidikan

Editor: Martsindy Rasuh

JAKARTA (Gawai.co) – Rencana pemerintah mengenakan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dan penambahan objek pajak baru dalam PPN seperti sembako dan sektor pendidikan, kesehatan ramai dibicarakan.

“Kami meminta pemerintah berpikir ulang mengenai rencana tersebut. Seperti diketahui, pemerintah mewacanakan untuk mengenakan PPN terhadap sembako dan sekolah,” ungkap Ketua Umum Pendamping Pembangunan Nasional (LPPN) Dr. Semuel Linggi Topayung MAP kepada media ini, Minggu (13/6).

Dikatakannya, wacana itu terlihat dalam draf RUU perubahan kelima atas Undang-Undang nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

“Saya sangat menyayangkan rencana kebijakan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati terkait rencana kebijakan tersebut.
Kami sangat mengerti situasi keuangan negara yang sedang berat, apalagi dalam situasi seperti pandemi sekarang ini yang menyebabkan target pajak tidak tercapai, sehingga penerimaan negara defisit,” jelasnya.

Namun, menurut Topayung, menarik pajak dari kebutuhan pokok masyarakat bukanlah sebuah solusi, apabila hal itu dilakukan hanya akan menambah beban masyarakat.

“Memajaki barang-barang kebutuhan pokok rakyat dan kegiatan-kegiatan riil masyarakat, seperti beras, gula, garam, ikan, daging, sayur mayur dan juga pelayanan kesehatan dan pendidikan itu justru semakin membebani rakyat,” terangnya.

Sehingga, upaya untuk meningkatkan penerimaan pajak tidak berbanding lurus dengan upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat.

“Saya menyarankan kepada pemerintah sebaiknya menerapkan objek pajak baru terhadap barang-barang yang bukan menjadi kebutuhan pokok masyarakat,” ujarnya.

“Saya juga menyarankan kepada pemerintah untuk menarik pajak terhadap aktivitas pertambangan, perkebunan hingga korporasi,” katanya.

Lebih lanjut dikatakannya, terhadap upaya untuk meringankan beban keuangan negara dan juga meningkatkan penerimaan pajak secara signifikan, ia menyarankan penerapan objek pajak baru itu lebih baik diterapkan kepada barang-barang atau jasa dari hasil aktivitas atau kegiatan pertambangan dan perkebunan, termasuk kegiatan korporasi lainnya.

Kebijakan ini bisa merusak citra pemerintahan Presiden Joko Widodo yang awalnya berpihak ke rakyat kecil.

“Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan harus menarik dan merevisi draf RUU KUP yang isinya tak populer itu. Apalagi sektor pendidikan dan sembako ini merupakan kebutuhan dasar masyarakat Indonesia,” tegasnya.

Katanya lagi, entah mahal atau murah, pendidikan tetaplah pendidikan yang sangat diperlukan dalam pembangunan kualitas manusia. Demikian halnya dengan penambahan beras yang akan dijadikan sebagai objek PPN dan dikenakan PPN, harus dilihat korelasi kedepannya.

“Bahwa kualitas pangan akan mempengaruhi kualitas kesehatan dan akhirnya berpengaruh pada kualitas kehidupan,” ujarnya.

Menurut dia, alasan yang sangat tidak rasional bahwa kebijakan ini akan diterapkan setelah pandemi covid-19 selesai, karena sampai saat ini tidak ada ahli yang bisa memastikan kapan pandemi ini akan berakhir.

Justru energi bangsa sebaiknya berkonsentrasi digunakan untuk menangani dan mengatasi pandemi covid-19 bukan justru membuat polemik membahas objek PPN baru dan kenaikan tarif PPN.

“Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan terbaik di dunia harus bisa menunjukkan kreativitas dalam membuat ide dan gagasan sesuai dengan kelasnya. Saya meminta menteri keuangan menggunakan ruang kreativitas lainnya dalam mengambil kebijakan menaikkan penerimaan pajak,” sentilnya.

Karena, tambah Topayung, dalam menghadapi pandemi covid-19 saat ini semua negara menghadapi permasalahan yang hampir sama di bidang fiskal, tapi kenapa hanya Indonesia yang mengambil langkah kebijakan menaikkan tarif pajak dan menambah objek pajak baru? Kebijakan ini kontradiktif dan justru merusak proses dan upaya pemulihan ekonomi yang sedang diupayakan. (Martsindy Rasuh)

Respon (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *