Narasumber Rapat Pleno III WKRI, Prof Dei: Pendidikan Gizi Bagi Orang Tua Sangat Penting Guna Mencegah Stunting

Suasana pelaksanaan kegiatan yang turut menghadirkan narasumber Rektor Unima Prof. Dr. Deitje A. Katuuk MPd. (ist)

Editor: Martsindy Rasuh

TONDANO (Gawai.co) – Guna mencegah stunting, pendidikan tentang gizi bagi orang tua, terutama ibu sangat penting dalam membesarkan anak. Hal ini diterangkan Rektor Unima Prof. Dr. Deitje A. Katuuk MPd ketika menjadi narasumber dalam kegiatan Rapat Pleno III, Wanita Katolik RI dengan topik “Pencegahan Stunting”, bertempat di Gedung Kuliah Bersama (GKB) Unima, Sabtu (29/5).

Disampaikan salah satu Dewan Kehormatan untuk 100 tahun WKRI, bahwa stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh kurangnya asupan gizi dalam waktu yang cukup lama, sehingga dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan pada anak. Misalkan, tinggi badan anak lebih rendah atau pendek (kerdil) dari standar usianya.

Prof Dei menyampaikan, keluarga wajib memiliki kesadaran dan pengetahuan yang baik mengenai bagaimana mendapatkan dan memberikan nutrisi pada anak. Nutrisi tidak harus mahal, yang terpenting adalah kualitasnya.

“Jadi, pendidikan gizi bagi orang tua sangat penting guna mencegah stunting,” ungkap Ketua Pita Putih Indonesia Sulawesi Utara ini.

Prof Dei menjelaskan, pentingnya kita memahami bagaimana cara pencegahan stunting pada anak sedari awal. Apalagi, belakangan ini isu stunting sedang hangat diperbincangkan banyak orang, khususnya para ibu.

Meski begitu, upaya pemerintah menekan angka stunting pun terus dilakukan. Berdasarkan jumlah dan laporan bahwa angka stunting di Indonesia menurut hasil dari Kementerian Kesehatan terus mengalami penurunan.

“Ini tentu harus menjadi tanggungjawab kita bersama, bukan hanya pemerintah tetapi juga kita sebagai orang tua, agar supaya anak-anak kita gizinya dapat terpenuhi dengan baik,” sebutnya.

Langkah-langkah pencegahan stunting yang perlu kita lakukan diantaranya, memenuhi kebutuhan gizi sejak masa hamil. Tindakan yang relatif ampuh dilakukan untuk mencegah stunting pada anak adalah selalu memenuhi gizi sejak masa kehamilan.

Selanjutnya, pemberian ASI eksklusif sampai bayi berusia enam bulan. “Berdasarkan penelitian, bahwa pemberian ASI ternyata berpotensi mengurangi peluang stunting pada anak berkat kandungan gizi mikro dan makro,” tuturnya.

Lebih lanjut dikatakan orang nomor satu di Unima ini, hal lain yang perlu dilakukan adalah dampingi ASI eksklusif dengan MPASI sehat. “Ketika bayi menginjak usia enam bulan ke atas, maka ibu sudah bisa memberikan makanan pendamping atau MPASI,” jelasnya.

Kemudian, upaya kita untuk terus memantau tumbuh kembang anak. “Orang tua perlu terus memantau tumbuh kembang anak, terutama dari tinggi dan berat badan anak. Caranya, bawa anak secara berkala ke Posyandu maupun klinik khusus. Dengan begitu, akan lebih mudah bagi ibu untuk mengetahui gejala awal gangguan dan penanganannya,” sampainya.

Katanya lagi, selalu jaga kebersihan lingkungan. Seperti yang diketahui, anak-anak sangat rentan akan serangan penyakit, terutama kalau lingkungan sekitar kotor.

“Faktor ini pula yang secara tak langsung meningkatkan peluang stunting. Jadi jaga kebersihan lingkungan dan selalu membersihkan anak ketika sehabis bermain,” ujarnya.

Dirinya menegaskan, upaya paling penting pencegahan stunting ini berawal dari keluarga. “Keluarga memiliki peran krusial untuk pencegahan dan penanganan masalah stunting atau anak kerdil. Karena itu, upaya pemberdayaan keluarga pun sangat diperlukan,” tegasnya.

Oleh sebab itu, Prof Dei menyebut, keluarga adalah bagian dari masyarakat, merupakan faktor utama penentu bagaimana kita dapat berusaha melakukan pencegahan dan penanganan stunting.

“Keluarga punya peran penting mencegah stunting pada setiap fase kehidupan. Mulai dari masa ibu mengandung, menyusui, bayi, balita, remaja, menikah, hamil dan seterusnya. Semua dari dalam rumah kita dulu,” terangnya.

Pada prinsipnya, fokus pemerintah dalam hal penanganan stunting antara lain hanya melalui intervensi gizi spesifik dan gizi sensitif. Intervensi gizi spesifik dilakukan oleh tenaga kesehatan profesional dan hanya memiliki kontribusi sekitar 30 persen.

Sementara, untuk intervensi melalui gizi sensitif ada pada masyarakat, termasuk kita ada di dalamnya. Dampak intervensi ini lebih bersifat jangka panjang, dan punya kontribusi besar hingga mencapai 70 persen dalam upaya pencegahan stunting.

“Jadi semua kembali pada keluarga, selalu berawal dari dalam rumah kita. Olehnya, mari kita sama-sama cegah permasalahan stunting ini, agar generasi penerus kita akan lebih sehat, pintar dan gizi mereka terpenuhi,” ajaknya.

Karena, jika kita saat ini lalai akan kebutuhan pemenuhan gizi dalam keluarga terlebih anak-anak, maka efeknya bukan hanya dirasakan sekarang, tapi sampai usia tua.

“Jadi efek dari stunting ini akan kita rasakan hingga usia tua. Bukan hanya sebentar,” tandasnya.

Turut hadir pada kegiatan tersebut diantaranya, jajaran pimpinan dan staf civitas akademika Unima yang mendampingi rektor, pengurus WKRI Sulut dan anggota serta undangan. (Martsindy Rasuh)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *